Cari Blog Ini

Sabtu, 19 April 2014

ANTIGEN

http://i.ixnp.com/images/v6.28/t.gifhttp://i.ixnp.com/images/v6.28/t.gifhttp://i.ixnp.com/images/v6.28/t.gif
http://i.ixnp.com/images/v6.28/t.gifhttp://i.ixnp.com/images/v6.28/t.gifhttp://i.ixnp.com/images/v6.28/t.gifhttp://i.ixnp.com/images/v6.28/t.gifhttp://i.ixnp.com/images/v6.28/t.gifhttp://i.ixnp.com/images/v6.28/t.gif
http://i.ixnp.com/images/v6.28/t.gif
ANTIGEN

A. Pengertian Antigen
Istilah antigen mengandung dua arti, pertama untuk mengambarkan molekul yang memacu respon imun (juga disebut imunogen) dan kedua untuk menunjukkan molekul yang dapat bereaksi dengan antibodi atau sel T yang sudah disensitasi (Baratawidjaja, 2006). Antigen yaitu setiap substansi asing yang dapat menginduksi timbulnya respon imun (Bloom, 2002).
B. Letak Antigen
Antigen ditemukan di permukaan seluruh sel, tetapi dalam keadaan normal, sistem kekebalan seseorang tidak bereaksi terhadap sel-nya sendiri. Sehingga dapat dikatakan antigen merupakan sebuah zat yang menstimulasi tanggapan imun, terutama dalam produksi antibodi. Antigen biasanya protein atau polisakarida, tetapi dapat juga berupa molekul Iainnya. Permukaan bakteri mengandung banyak protein dan polisakarida yang bersifat antigen, sehingga antigen bisa merupakan bakteri, virus, protein, karbohidrat, sel-sel kanker, dan racun.
C. Bagian Antigen
Secara fungsional antigen terbagi menjadi 2, yaitu:
1. Imunogen, yaitu molekul besar (disebut molekul pembawa). Bagian dari molekul antigen besar yang dikenali oleh       sebuah antibodi (oleh reseptor sel-T) atau bagian antigen yang dapat membuat kontak fisik dengan reseptor antibodi, menginduksi pembentukan antibodi yang dapat diikat dengan spesifik oleh bagian dari antibodi atau oleh reseptor antibodi, bisa juga disebut determinan antigen atau epitop.
2. Hapten, yaitu kompleks yang terdiri atas molekul kecil. Bahan kimia ukuran kecil seperti dinitrofenol dapat diikat antibodi, tetapi bahan tersebut sendiri tidak dapat mengaktifkan sel B (tidak imunogenik). Untuk mengacu respon antibodi, bahan kecil tersebut perlu diikat oleh molekul besar. Hapten merupakan sejumlah molekul kecil yang dapat bereaksi dengan antibodi namun tidak dapat menginduksi produksi antibodi.
D.Klasifikasi Antigen
1.Pembagian antigen menurut epitop
a.Unideterminan, univalen
Hanya satu jenis determinan/ epitop pada satu molekul.
b. Unideterminan, multivalen
Hanya satu jenis determinan tetapi dua atau lebih determinan tersebut ditemukan pada satu molekul.
c. Multideterminan, univalen
Banyak epitop yang bermacam-macam tetapi hanya satu dari setiap macamnya (kebanyaan protein).
d. Multideterminan, multivalen
Banyak macam determinan dan banyak dari setiap macam pada satu molekul
2. Pembagian antigen menurut spesifisitas
a. Heteroantigen, yang dimiliki oleh banyak spesies
b. Xenoantigen, yang hanya dimiliki oleh banyak spesies tertentu
c. Aloantigen (isoantigen), yang spesifik untuk individu dalam satu spesies
d. Atigen organ spesifik, yang hanya dimiliki organ tertentu
e. Autoantigen, yang dimiliki alat tubuh sendiri
3. Pembagian antigen menurut ketergantungan terhadap sel T
a. T dependen, yang memerlukan pengenalan sel T terlebih dahulu untuk dapat menimbulkan respon antibodi.
b. T independen, yang dapat merangsang sel B tanpa bantuan sel T untuk mebentuk antibodi.
4. Pembagian antigen menurut sifat kimiawi
a. Hidrat arang (polisakarida)
Hidrat arang pada umumnya imunogenik.
b. Lipid
Lipid biasanya tidak imunogenik kecuali bila diikat protein pembawa.
c. Asam nukleat
Asam nukleat tidak imunogenik, tetapi dapat menjadi imunogenik bila diikat protein molekul pembawa.
d. Protein
Kebanyakan protein adalah imunogenik dan pada umumnya multideterminan dan univalent.
E. Sifat-Sifat Antigen
Antigen memiliki beberapa sifat-sifat yang khas pada antigen tersebut, sifat-sifat tersebut antaralain:
1. Keasingan
Kebutuhan utama dan pertama suatu molekul untuk memenuhi syarat sebagai imunogen adalah bahwa zat tersebut secara genetik asing terhadap hospes.
2. Sifat-sifat Fisik
Agar suatu zat dapat menjadi imunogen, ia harus mempunyai ukuran minimum tertentu, imunogen yang mempunyai berat molekul yang kecil, respon terhadap hospes minimal, dan fungsi zat tersebut sebagai hapten sesudah bergabung dengan proten-proten jaringan.
3. Kompleksitas
Faktor-faktor yang mempengaruhi kompleksitas imunogen meliputi baik sifat fisik maupun kimia molekul.
4. Bentuk-bentuk (Conformation)
Tidak adanya bentuk dari molekul tertentu yang imunogen. Polipeptid linear atau bercabang, karbohidrat linear atau bercabang, serta protein globular, semuanya mampu merangsang terjadinya respon imun.
5. Muatan (charge)
Imunogenitas tidak terbatas pada molekuler tertentu; tidak terbatas pada molekuler tertentu, zat-zat yang bermuatan positif, negatif, dan netral dapat imunogen. Namun demikian imunogen tanpa muatan akan memunculkan antibodi yang tanpa kekuatan.
6. Kemampuan masuk
Kemampuan masuk suatu kelompok determinan pada sistem pengenalan akan menentukan hasil respon imun.
F. Reaksi Antigen dan Antibodi
Dalam lingkungan sekitar kita terdapat banyak substansi bermolekul kecil yang bisa masuk ke dalam tubuh. Substansi kecil tersebut bisa menjadi antigen bila dia melekat pada protein tubuh kita. Substansi kecil yang bisa berubah menjadi antigen tersebut dikenal dengan istilah hapten. Substansi-substansi tersebut lolos dari barier respon non spesifik (eksternal maupun internal), kemudian substansi tersebut masuk dan berikatan dengan sel limfosit B yang akan mensintesis pembentukan antibodi.
Sebelum pertemuan pertamanya dengan sebuah antigen, sel-sel-B menghasilkan molekul immunoglobulin IgM dan IgD yang tergabung pada membran plasma untuk berfungsi sebagai reseptor antigen. Jumlahnya mencapai 50.000 sampai 100.000 per sel dan semuanya spesifik bagi satu determinan antigen. Sebuah antigen merangsang sel untuk membuat dan menyisipkan dalam membrannya molekul immunoglobulin yang memiliki daerah pengenalan spesifik untuk antigen itu. Setelah itu, limfosit harus membentuk immunoglobulin untuk antigen yang sama. Pemaparan kedua kali terhadap antigen yang sama memicu respon imun sekunder yang segera terjadi dan meningkatkan titer antibodi yang beredar sebanyak 10 sampai 100 kali kadar sebelumnya. Sifat molekul antigen yang memungkinkannya bereaksi dengan antibodi disebut antigenisitas. Kesanggupan molekul antigen untuk menginduksi respon imun disebut imunogenitas.
Kespesifikan reaksi antara antigen dan antibodi telah ditunjukkan melalui penelitian-penelitian yang dilakukan oleh Landsteiner. Ia menggabungkan radikal-radikal organik kepada protein dan menghasilkan antibodi terhadap antigen-antigen tersebut. Keputusan yang diperolehi menunjukkan antibodi dapat membedakan antara kelompok berbeda pada protein ataupun kumpulan kimia yang sama tetapi berbeda kedudukan. Ikatan yang terjadi terdiri dari ikatan non kovalen (seperti ikatan hidrogen, van der Waals, elektrostatik, hidrofobik), sehingga reaksi ini dapat kembali ke semula (reversible). Kekuatan ikatan ini bergantung kepada jarak antara paratop dan bagian-bagian tertentu pada epitop.
Terdapat berbagai kategori Interaksi antigen-antibodi, kategori tersebut antara lain:
1. Primer
Interaksi tingkat primer adalah saat kejadian awal terikatnya antigen dengan antibodi pada situs identik yang kecil, bernama epitop.
2. Sekunder
Interaksi tingkat sekunder terdiri atas beberapa jenis interaksi, di antaranya:
a. Netralisasi
Adalah jika antibodi secara fisik dapat menghalangi sebagian antigen menimbulkan effect yang merugikan. Contohnya adalah dengan mengikat toksin bakteri, antibody mencegah zat kimia ini berinteraksi dengan sel yang rentan.
b. Aglutinasi
Adalah jika sel-sel asing yang masuk, misalnya bakteri atau transfusi darah yang tidak cocok berikatan bersama-sama membentuk gumpalan
c. Presipitasi
Adalah jika komplek antigen-antibodi yang terbentuk berukuran terlalu besar, sehingga tidak dapat bertahan untuk terus berada di larutan dan akhirnya mengendap.
d. Fagositosis
Adalah jika bagian ekor antibodi yang berikatan dengan antigen mampu mengikat reseptor fagosit (sel penghancur) sehingga memudahkan fagositosis korban yang mengandung antigen tersebut.
e. Sitotoksis
Adalah saat pengikatan antibodi ke antigen juga menginduksi serangan sel pembawa antigen oleh killer cell (sel K). Sel K serupa dengan natural killer cell kecuali bahwa sel K mensyaratkan sel sasaran dilapisi oleh antibodi sebelum dapat dihancurkan melalui proses lisis membran plasmanya.
3. Tersier
Interaksi tingkat tersier adalah munculnya tanda-tanda biologik dari interaksi antigen-antibodi yang dapat berguna atau merusak bagi penderitanya. Pengaruh menguntungkan antara lain: aglutinasi bakteri, lisis bakteri, immnunitas mikroba,dan lain-lain. Sedangkan pengaruh merusak antara lain: edema, reaksi sitolitik berat, dan defisiensi yang menyebabkan kerentanan terhadap infeksi.
Daftar Pustaka
Baratawidjaja, 2006, Imunologi Dasar, Edisi ke-7, Penerbit FKUII, Jakarta.
Bloom, 2002, Buku Ajar Histologi, Edisi 12, diterjemahkan oleh Jan Tambayong, Penerbit Buku Kedokteran EGC, Jakarta.
Sudiana, 2005, Konsep Dasar Imunologi, Universitas Airlangga, Surabaya available at http://www.ners.unair.ac.id/materikuliah/DASAR%20IMUNOLOGI.pdf (diakses Oktober 2009).



http://i.ixnp.com/images/v6.28/t.gif
http://i.ixnp.com/images/v6.28/theme/silver/palette.png
http://i.ixnp.com/images/v6.28/theme/silver/palette.png
http://i.ixnp.com/images/v6.28/theme/silver/palette.png
http://i.ixnp.com/images/v6.28/theme/silver/palette.png
http://i.ixnp.com/images/v6.28/t.gifhttp://i.ixnp.com/images/v6.28/t.gifhttp://i.ixnp.com/images/v6.28/t.gifhttp://i.ixnp.com/images/v6.28/t.gif
http://i.ixnp.com/images/v6.28/theme/silver/palette.png
http://i.ixnp.com/images/v6.28/t.gifhttp://i.ixnp.com/images/v6.28/t.gifhttp://i.ixnp.com/images/v6.28/t.gifhttp://i.ixnp.com/images/v6.28/t.gifhttp://i.ixnp.com/images/v6.28/t.gifhttp://i.ixnp.com/images/v6.28/t.gif
http://i.ixnp.com/images/v6.28/t.gif
http://i.ixnp.com/images/v6.28/t.gifhttp://i.ixnp.com/images/v6.28/t.gif
http://i.ixnp.com/images/v6.28/t.gifSnap Shots Optionshttp://i.ixnp.com/images/v6.28/t.gifhttp://i.ixnp.com/images/v6.28/t.gif
Options
Disable
http://i.ixnp.com/images/v6.28/t.gif  http://i.ixnp.com/images/v6.28/t.gif
http://i.ixnp.com/images/v6.28/t.gifhttp://i.ixnp.com/images/v6.28/size_305/loading.gif
http://i.ixnp.com/images/v6.28/theme/silver/logo_wordpress.gif
http://i.ixnp.com/images/v6.28/t.gifClose
Snap Shares for charityhttp://i.ixnp.com/images/v6.28/t.gif

Mawarputrijulica's Blog it's all about my journey to be a dentist

Search

INTRODUKSI IMMUNOBIOLOGI

INTRODUKSI IMUNOBIOLOGI
MAWAR PUTRI JULICA
07/ 250270/ KG/ 08134
Laboratorium Biologi Mulut, Fakultas Kedokteran Gigi, Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta
Reaksi antigen-antibodi dapat di deteksi dengan reaksi sekunder untuk memvisualisasikan reaksi misalkan presipitasi maupun aglutinasi. Klasifikasi antigen salah satunya bersumber dari alogeneik dengan jenis alloantigen salah satu contohnya adalah golongan darah. Dua jenis penggolongan darah yang paling penting adalah penggolongan ABO dan Rhesus (faktor Rh). Membran sel darah merah pada sebagian besar individu mengandung suatu substansi golongan darah tipe A, tipe B, tipe AB, tipe O. Penggolongan sistem ABO didasarkan pada ada atau tidaknya aglutinasi antara antigen-antibodi yang terdapat dalam darah, sedangkan penggolongan Rh berdasarkan ada  atau tidaknya antigen D. Jika seseorang dengan Rh negatif (tidak mempunyai antigen D) terpajan dengan darah Rh positif (mempunyai antigen D), maka tubuh akan membentuk anti-Rh sehingga menyebabkan aglutinasi.
Untuk melihat adanya aglutinasi, tes yang dilakukan adalah mereaksikan darah sebagai antigen dan larutan anti sera( Anti-A, Anti-B, Anti-C, dan Anti-D). Aglutinasi dapat menunjukkan golongan darah. Sedangkan pada penghitungan jenis leukosit sample darah dibuat sediaan tipis lalu dicat dengan Giemsa 3%. Kemudian sediaan diamati dibawah mikroskop,  dilakukan perhitungan macam jenis leukosit per 100 sel leukosit sepanjang sediaan apus. Hasil penghitungan dilaporkan dalam bentuk persen.
Kedua percobaan tersebut dilakukan pada tiga orang probandus dengan hasil :
  1. Probandus I : golongan darah O, Rh positif, basofil 0%, eosinofil 0%, netrofil 0%, limfosit 75%, monosit 18%
  2. Probandus II: golongan darah O, Rh positif, basofil 2,4%, eosinofil 14,8%, netrofil 54,3%, limfosit 8,6%, monosit 7,4 %
  3. Probandus III: golongan darah O, Rh positif, basofil 10,1%, eosinofil 10,1%, netrofil 43,4%, limfosit 30,4%, monosit 5,7 %
Penghitungan Diffferential Blood Count (DBC) ternyata secara klinis juga sangat membantu dalam diagnosis suatu kondisi patologis. Kenaikan titer salah satu atau beberapa jenis leukosit memberi makna kondisi tertentu yang dapat fisiologis maupun patologis.
Kata kunci : aglutinasi, hitung diferensial leukosit, antigen, antibody




PENDAHULUAN
Dalam pengertian paling luas , immunologi mengacu pada semua mekanisme pertahanan yang dapat di mobilisasi oleh tubuh untuk memerangi ancaman invasi asing. Respon imun itu hampir seluruhnya diperantarai oleh limfosit B dan limfosit T. Saat terjadi respon imun terhadap benda asing, limfosit B terutama terlibat dalam menghasilkan protein-protein globular yang disebut Antibodi.(Fried, G.H and Fried, G.J., 2006). Imunigenisitas dapat di definisikan sebagai sesuatu zat (immunogen) yang memberikan zat tersebut kemampuan membangkitkan respon imun spesifik baik antibody maupun imunitas seluler. Bagian dari struktur tiga dimensi tiap imunogen mengandung kelompok permukaan misalnya asam amino dalam suatu protein globularatau sisi rantai sakarida yang menonjol pada polisakarida. Struktur ini diberi nama determinan antigenic atau epitop dan menyajikan daerah aktif terpapar, dengan mana antibody menyatu .(Bellanti & Jackson, 1993)
Jika terdapat suatu agen asing yang dapat dikenali oleh system imunitas, maka hal ini dapat memicu produksi molekul protein khusus yang secara umum disebut antibodi. Antibodi sendiri merupakan senjata utama respon humoral. Reseptor sel T yang akan mengenali agensia asing tersebut secara spesifik dan  mengikatnya. Molekul yang dapat dikenali dan diikat oleh reseptor sel T yang disebut antigen (antibody generating surface).(Yuwono,2008)
Interaksi antigen-antibodi dapat dibagi dalam 3 kategori: (1)primer, (2) sekunder,(3) tersier. Interaksi primer atau interaksi awal antigen dengan antibody adalah suatu kejadian dasar yang terdiri dari pengikatan molekul antigen dengan antibody. deteksi biasanya dikerjakan dengan reaksi sekunder, yang merupakan alat bantu untuk memvisualisasikan reaksi, misalnya presipitasi. Reaksi tersier merupakan ekspresi biologik dari interaksi antigen-antibodi yang dapat berguna untuk merusak. Pada Aglutinasi, fase pertama penyatuan antigen-antibodi terjadi seperti pada presipitasi dan tergantung pada kekuatan ion, pH dan suhu. Pada aglutinasi sel darah merah, misalnya dimana reseptor antigenik mungkin terletak pada cekungan yang dalam pada permukaan sel, antibody diikat kuat pada sisi reseptor pada satu sel. (Bellanti, 1993)
Ketika transfusi darah dari orang ke orang, transfusi hanya berhasil baik pada beberapa keadaan. Seringkali timbul aglutinasi dan hemolisis sel darah merah bahkan dapat juga menyebabkan kematian. Ternyata hal itu dikarenakan darah dari orang yang berbeda biasanya mempunyai sifat antigen dan imunitas yang berbeda, sehingga antibodi dalam plasma darah seseorang akan bereaksi dengan antigen pada permukaan sel darah merah orang lain. Karl Landsteiner menggolongkan darah manusia menjadi A, B, AB, dan O. Metode klasifikasi berdasarkan jenis antigen dan antibodi yang terkandung dalam darahnya. Jenis penggolongan darah lain adalah dengan memanfaatkan faktor Rhesus atau faktor Rh.
Tubuh kita ini mempunyai sistem pertahanan tubuh yang bekerja melalui dua cara. Pertama adalah merusak benda asing yang menyerbu (antigen) dengan cara fagositosis. Kedua, menon-aktifkan benda asing tadi dengan membentuk antibodi spesifik. Proses yang kedua ini telah dicontohkan pada kasus golongan darah yang telah dijelaskan sebelumnya. Sedang untuk proses fagositosis sendiri dilakukan oleh leukosit Ada enam macam sel darah putih yang secara normal ditemukan dalam darah. Netrofil polimorfonuclear, eosinofil polimorfonuclear, basofil polimorfonuclear, merupakan sel-sel yang polimorfonuclear (berinti >1) dan mempunyai gambaran granular, maka disebut sel granulosit. Fungsi utama limfosit dan sel plasma adalah berhubungan dengan sistem imun seseorang. Sel-sel darah putih manusia normalnya berkisar antara 4.000 – 11.000 sel per mikroliter darah . Rentang normal elemen seluler pada darah manusia dapat dilihat pada tabel di bawah ini:
Sel/ mL (rata-rata)
Rentang normal
Presentase WBC
Total WBC
9.000
4000 – 11.000
Granulocytes
Neutrophils
5.400
3.000 – 6.000
50 – 70
Eosinophils
275
150 – 300
1 – 4
Basophils
35
0 – 100
0,4
Lymphocytes
2.750
1.500 – 4.000
20 – 40
Monocytes
540
300 – 600
2 – 8
Erythrocytes
4,8 – 5,4 X 106
Platelets
300.000
200.000 – 500.000
Di antara sel dalam tabel di atas, granulosit (leukosit PMN) yang paling banyak. Granulosit muda mempunyai inti berbentuk seperti tapal kuda yang menjadi multilobulus waktu sel tumbuh menjadi semakin tua. Sebagian besar granulosit mengandung granula yang berwarna dengan zat warna asam (eosinofil) dan sebagian mempunyai granula basofilik (basofil). Dua jenis sel lainnya yang normal ditemukan dalam darah tepi adalah limfosit, yaitu sel dengan inti besar dan bulat dan sedikit sitoplasma, dan monosit, yaitu sel dengan banyak sitoplasma agranuler dan inti berbentuk ginjal.(Ganong, 2001)
Tujuan dari praktikum ini adalah agar mahasiswa mampu melakukan tes aglutinasi terhadap pemeriksaan golongan darah dan menjelaskan hasilnya, memahami dan mempelajari prosedur pembuatan sediaan sampel darah dengan metode oles (smear methods), serta mengenal beberapa istilah dalam bidang imunobiologi.
BAHAN DAN CARA
Pemeriksaan Golongan Darah ABO dan Rh
A. Alat dan Bahan
1. Gelas obyek
2. Satu set larutan anti sera
a. Serum anti-A, warna biru
b. Serum anti-B, warna kuning
c. Serum anti-AB, tidak berwarna
d. Serum anti-D berisi IgG dan IgM,   tidak berwarna
B. Cara Kerja
1.Menyiapkan gelas obyek dan menandainya dengan empat buah tanda yaitu daerah A, B, AB,dan D.
2.Pada tiap tanda diteteskan darah dari probandus masing-masing satu tetes. Berturut-turut serum anti-A, anti-B, anti-AB, dan anti-D diteteskan pada setiap tetes darah yang ada di atas gelas obyek sesuai dengan tanda yang tertera.
3.Tiap campuran tetes darah dan tetes serum diaduk dengan ujung gelas obyek yang lain.
Identifikasi dan Kuantitatif Sel Leukosit
  1. Alat dan Bahan
1.Darah
2.Gelas obyek
3.Aquades
4.Methyl-alkohol
5.  Cat Giemsa 3%
6.  Mikroskop cahaya
7.Hand tally counter
8.Minyak imersi
9.Lancet
10.Kapas Alkohol
  1. Cara Kerja
v   Pembuatan Sediaan Film Darah Tipis
1.   Menyiapkan dua buah gelas obyek, A dan B.
2.   Meneteskan darah pada sisi kanan gelas obyek A.
3.   Menarik gelas obyek B sedikit ke belakang sehingga tetesan darah dari gelas obyek A tersentuh dan terjadi gaya kapilaritas, sehingga darah tersebar sepanjang sisi gelas obyek B. Antara gelas obyek A dan B dibentuk sudut kira-kira 25o-45o.
4.   Mendorong gelas obyek B ke sisi kiri gelas obyek A dengan mantap dan cepat sehingga terjadi film darah yang tipis. Melakukan pengecatan satu jam setelah pembuatan.
v   Pengecatan
1.   Melakukan fiksasi dengan mencelupkan sediaan dalam wadah yang berisi methyl-alkohol selama 3-4 menit kemudian mengeringkannya dalam suhu ruang.
2.   Menetesi seluruh permukaan sediaan oles dengan cat Giemsa 3% selama 30-40 menit.
3.   Kemudian mencuci sediaan yang telah dicat tersebut dengan aquades dingin dan mengeringkannya pada suhu ruang.
v   Cara Pemeriksaan
Sediaan diamati mulai dari daerah kepala hingga ekor dengan mikroskop pada perbesaran obyektif 10 kali. Bagian yang diamati adalah bagian yang eritrositnya tidak saling menumpuk. Setelah itu meneteskan minyak imersi dan mengamati dengan perbesaran mikroskop 100 kali. Menghitung masing-masing jenis leukosit per 100 sel leukosit, hasil dilaporkan dalam persen.
HASIL PENGAMATAN
Pemeriksaan Golongan Darah ABO dan Rh, serta Identifikasi dan Kuantitatif Sel Leukosit  masing-masing dilakukan terhadap tiga orang probandus. Dari ketiga percobaan tersebut didapatkan hasil sebagai berikut:
Tabel hasil pemeriksaan golongan darah ABO dan Rh
Aglutinasi Terjadi Pada
Penilaian Golongan Darah
Aglutinasi Terjadi Pada
Penilaian
Anti-A
Anti-B
Anti-AB
Anti-D
Rh
Probandus 1
-
-
-
O
+
Positif
Probandus 2
-
-
-
O
+
Positif
Probandus 3
-
-
-
O
+
Positif
hasil praktikum pengetesan golongan darah
hasil praktikum pengetesan golongan darah
Probandus 1 Probandus 2 Probandus 3
Identifikasi leukosit
Macam Sel
Probandus 1
Probandus 2
Probandus 3
Basofil
0%
24%
10,1%
Eosinofil
0%
14,8%
10,1%
Netrofil
6%
54,3%
43,4%
Limfosit
75%
8,6%
30,4%
Monosit
18%
7,4%
5,7 %
Keterangan:
*Perhitungan probandus 1 menggunakan perbesaran 1000x
*Probandus 2 dan 3 menggunakan perbesaran 400X
PEMBAHASAN
Kelompok antigen yang memiliki banyak arti klinis adalah kelompok antigen yang dikenal sebagai antigen alogeneik, yaitu antigen yang secara genetic diatur oleh determinan antigenic yang membedakan satu individu spesies tertentu dari individu lain pada spesies yang sama. Pada manusia determinan antigenic semacam ini terdapat pada sel darah merah, contoh alloantigen: ABO, RHo, golongan darah(disebut isoantigen), memiliki fungsi klinik untuk penyakit hemofilik pada neonatus dan reaksi transfusi.(Bellanti & Jackson, 1993)
Penggolongan darah sistem ABO yang kita kenal ditentukan berdasarkan ada atau tidaknya aglutinogen A dan B.Aglutinogen merupakan antigen, disebut juga aglutinogen karena dia mampu menyebabkan reaksi aglutinasi sel darah.  Bila tidak terdapat aglutinogen tipe A dalam sel darah merah seseorang, maka dalam plasmanya akan terbentuk antibodi yang dikenal sebagai aglutinin anti-A. Demikian pula, bila tidak terdapat aglutinogen tipe-B di dalam sel darah merah, maka dalam plasmanya terbentuk antibodi yang dikenal sebagai aglutinin anti-B. Golongan darah O, meskipun tidak mengandung aglutinogen, tetapi mengandung agglutinin anti-A dan anti-B. Golongan darah A mengandung aglutinogen tipe-A dan aglutinin anti-B, sedangkan golongan darah B mengandung aglutinogen tipe-B dan aglutinin anti-A. Golongan darah AB mengandung kedua aglutinogen A dan B, tetapi tidak mengandung aglutinin sama sekali.
Golongan Darah
Aglutinogen
Aglutinin
O
-
Anti-A dan Anti-B
A
A
Anti-B
B
B
Anti-A
AB
A dan B
-
Tabel golongan darah beserta aglutinogen dan aglutininnya
Pemeriksaan Golongan Darah ABO dan Rh pada percobaan kali ini menggunakan sampel darah yang dicampur aglutinin anti-A dan aglutinin anti-B, kemudian diamati sel darah merah yang “teraglutinasi” untuk mengetahui adanya reaksi antibodi-antigen. Dari ketiga probandus, semuanya bergolongan darah O karena saat ditetesi serum anti-A dan anti-B tidak terjadi reaksi aglutinasi. Jika individu memiliki aglutinin Anti-A dan Anti-B ditetesi dengan serum yang sama, maka tidak terjadi ikatan antigen-antibodi yang secara makroskopis dapat diamati dengan reaksi aglutinasi. (Guyton & Hall, 2007)
Bila darah yang tidak cocok dicampur sehingga aglutinin plasma anti-A atau anti-B dicampur dengan sel darah merah yang mengandung aglutinogen A atau B, terjadilah aglutinasi sel darah merah. Terdapat dua tahapan aglutinasi, yang pertama adalah perlekatan molekul antibodi dengan antigen yang tidak terlarut, kedua terjadi pembentukan pola-pola geometris (Sheehan, 1997). Menurut Guyton & Hall (2007), proses aglutinasi diawali oleh aglutinin bivalen atau polivalen yang akan melekatkan diri pada sel darah merah. Karena aglutinin mempunyai dua tempat pengikatan (tipe IgG) atau 10 tempat pengikatan (IgM), maka satu aglutinin dapat melekatkan diri pada dua atau lebih sel darah merah yang berbeda pada waktu yang sama, dengan demikian menyebabkan sel saling mendekat satu sama lain. Keadaan ini menyebabkan sel-sel menggumpal bersama-sama (aglutinasi). Kemudian gumpalan ini menyumbat pembuluh darah kecil di seluruh sistem sirkulasi, dan pada akhirnya terjadi hemolisis sel darah merah.
Seperti yang kita ketahui, karena orang bergolongan darah O tidak mempunyai antigen A dan B, maka dia bisa mendonorkan darahnya kepada resipien lain yang tidak sama golongan darahnya. Itulah sebabnya golongan darah O disebut donor universal. Namun donor darah terkadang juga memberikan efek tertentu, salah satunya adalah menekan fungsi imunitas seseorang sehingga dapat meningkatkan kerentanan seseorang terhadap infeksi, tetapi hal ini tidak terjadi secara tetap. Pada tahun 1997, Eaves-Pyles & Alexander mengemukakan bahwa kemampuan dari tranfusi darah untuk meningkatkan kemampuan bakteri untuk menginfeksi bergantung pada faktor genetik seseorang.
Pada hasil uji rhesus, didapatkan hasil bahwa ketiga probandus memiliki rhesus positif ,namun pada probandus ke 2 dibutuhkan dua kali pengetesan untuk anti D baru didapatkan hasil positif, hal ini dimungkinkan karena kesalahan praktikan pada saat pemberian jumlah tetesan anti D pada pengetesan pertama. Seseorang yang mempunyai rhesus positif berarti dia memiliki antigen D, sedangkan seseorang yang tidak memiliki antigen D dikatakan sebagai rhesus negatif. Penyakit yang sering berhubungan dengan rhesus adalah penyakit hemolitik pada janin dan bayi baru lahir, pertama kali dijelaskan pada 1609 dalam rangkaian bayi kembar: bayi pertama adalah hidropik dan lahir mati, dan bayi kedua sangat kuning dan kemudian meninggal yang sekarang kita sebut kernicterus. Pada1932, ditemukan bahwa hydrops dan kernicterus adalah dua aspek dari penyakit yang sama di mana hemolisis sel darah merah janin dan neonatus mengakibatkan extramedullary erythropoiesis, hepatosplenomegali dan pencurahan erythroblasts ke dalam sirkulasi, suatu kondisi yang disebut erythroblastosis fetalis. Kernicterus selanjutnya terbukti karena pengendapan bilirubin dalam otak. (Bowman, 1998). Hemolytic disease pada fetus muncul pada bayi dengan RhD yang positif yang dibawa oleh ibu dengan  RhD negatif yang telah diimunisasi sel darah merah dengan RhD positif melalui transplacental barrier selama periode kehamilan. Antibodi IgG maternal hingga RhD melewati placenta, melapisi dan menghancurkan sel darah merah RhD positif janin.(Lo YMD, et al., 1998). Kasus inkompabilitas RhD tidak hanya membahayakan bayi tetapi juga orang dewasa, khususnya saat melakukan transfusi darah. Orang dengan RhD negatif lebih berisiko karena ketika mereka menerima darah dari orang dengan rhesus positif, antibodinya akan menyerang sel darah merah yang baru masuk tadi. Hal ini dapat menyebabkan aglutinasi dan bahkan kematian. (Anitei, 2008)
Pembahasan selanjutnya mengenai sel darah putih yang merupakan salah satu komponen sistem pertahanan tubuh kita. Leukosit terdiri atas sel fagosit dan sel imunosit. Yang termasuk sel fagosit adalah neutrofil (PMN), eosinofil, basofil, dan monosit. Sedangkan limfosit dan sel plasma termasuk sel imunosit. Pada keadaan normal, perbandingan persentase komponen leukosit adalah : netrofil 62%, eosinofil 2,3%, basofil 0,4%, monosit 5,3%, limfosit 30%. Persentase netrofil akan mengalami peningkatan saat terjadi infeksi bakteri, eosinofil meningkat pada reaksi alergi dan infeksi parasit, sedangkan basofil akan meningkat jumlahnya pada kondisi inflamasi jaringan.( Bregman, 1996).
Penghitungan diferensial leukosit ternyata memberi makna klinis yang signifikan terhadap beberapa kelainan di dalam tubuh. Leukosit memiliki peranan sebagai pertahanan tubuh terhadap berbagai agen toksik dan infeksi. Mekanismenya antara lain dengan menghancurkan agen invasif melalui proses fagositosis dan membentuk antibodi dan limfosit yang disensitifkan. Kenaikan titer salah satu atau beberapa jenis leukosit ternyata memberikan indikasi penyakit tertentu, misalnya apendisitis, terjadi kenaikan leukosit dan netrofil yang cukup signifikan dan berperan dalam proses inflamasi. Bahkan derajat inflamasi apendisitis dapat diketahui dengan jumlah leukosit dan netrofil PMN pasien. (Horng-Ren Yang, et al, 2006). Berbagai keadaan-keadaan yang menyebabkan peningkatan dan penurunan jumlah sel leukosit.
  1. Neutrofil leukositosis
Dikatakan leukositosis apabila jumlah neutrofil berada pada level > 7,5 x 109.  Karakteristik leukositosis:  terjadinya pergeseran ke kiri dari dalam differential white cell count pada apusan darah tepi. ada beberapa penyebab neutrofil leukositosis, yaitu : Infeksi bakteri (bakteri pyogenic), Inflamasi dan nekrosis jaringan, kelainan metabolisme, misal, uremia, asidosis, gout, Neoplasma, hemolisis atau hemorargi akut, terapi kortikosteroid.
  1. Neutropenia
Jumlah neutrofil terendah adalah sekitar 2,5 X 109/l. Ketika level neutrofil absolute mencapai 0,5 X 109/l  menandakan pasien mempunyai infeksi yang sifatnya kambuhan (recurrent) dan pada saat jumlahnya hanya 0,2 X 109/l, menandakan bahwa ada kelainan fungsi tubuh.
(Hoffbrand & Pettit, 1998)
Pada percobaan Identifikasi dan Kuantitatif Sel Leukosit dilakukan penghitungan jenis leukosit per 100 sel leukosit, dan hasilnya diubah dalam persen. Penghitungan pada sampel darah probandus 1 dengan menggunakan perbesaran 1000X didapatkan hasil sebagai berikut : basofil 0%, eosinofil 0%, netrofil 0%, limfosit 75%, monosit 18%. Selanjutnya Probandus II menggunakan perbesaran 400x didapat hasil: basofil 2,4%, eosinofil 14,8%, netrofil 54,3%, limfosit 8,6%, monosit 7,4 %, sedangkan pada probandus III didapat hasil: basofil 10,1%, eosinofil 10,1%, netrofil 43,4%, limfosit 30,4%, monosit 5,7 %. Jumlah eosinofil, basofil dan monosit relatif sedikit pada persentase. Mengingat fungsi utama netrofil adalah fagositosis, sehingga kenaikan netrofil menjadi dalah satu indikator proses inflamasi (peradangan) dan infeksi. Leukosit ini juga memberi respon fagositik dan berperan pada proses peradangan. Secara klinis, eosinofilia terjadi terutama jika terjadi reaksi alergi dan infeksi cacing, sedangkan basofil berperan dengan sel mast dalam melepaskan heparin ke dalam darah sehingga mencegah koagulasi darah.
Hasil yang didapatkan berbeda dengan standar teori yang ada. Kesalahan ini selain disebabkan karena kesalahan pada saat mengidentifikasi, juga dapat dikarenakan terjadinya penghitungan ulang pada wilayah yang sama pada saat mengamati dengan mikroskop. Penggunaan perbesaran mikroskop yang berbeda dalam perhitungan juga bisa menjadi salah satu pemicu perbedaan hasil. Kesalahan lain bisa disebabkan pada saat pembuatan preparat apus, dimana sampel darah yang digunakan terlalu tebal ataupun terlalu tipis sehingga tidak terlihat pada saat pengamatan dengan mikroskop. Kemungkinan terakhir yakni tubuh probandus benar-benar sedang dalam keadaan patologis
KESIMPULAN
Aglutinasi yang terjadi pada pemeriksaan golongan darah menunjukkan adanya interaksi antara antigen-antibodi yang sejenis. Penghitungan diferensial jumlah relatif leukosit berfungsi untuk mengetahui kondisi-kondisi patologis yang secara klinis dapat diketahui dengan pemeriksaan laboratorium.




Klasifikasi antibodi

Klasifikasi antibodi
(Drh. Darmono MSc).

Interaksi antigen dengan antibodi bersifat non-covalen dan pada umumnya sangat spesifik. Antibodi hanya diproduksi oleh limfosit B dan disebarkan keseluruh tubuh secara eksositosis dalam bentuk plasma dan cairan sekresi. Mereka membentuk sel B antigen reseptor yang spesifik. Antibodi ditemukan dalam plasma juga berikatan dengan reseptor spesifik untuk daerah konstan (Fc) dari imunoglobulin. Mereka juga ditemukan dalam cairan sekresi seperti mukus, susu dan keringat.

Pada dasarnya satu unit struktur antibodi pada mamalia adalah glikoprotein (berat molekul sekitar 150.000 dalton) yang terdiri dari empat rantai polipeptida. Semua antibodi mempunyai bentuk struktur yang sama yaitu dua rantai pendek (VL) dan dua rantai panjang (VH). Bentuk tersebut dihubungkan dengan bentuk kovalen (disulfida) dan erat hubungannya dengan sequens asam amino yang mempunyai struktur sekunder dan tertier.
Setiap rantai pendek (VL) berat molekulnya sekitar 25.000 dalton, dimana ada dua jenis rantai pendek yaitu lambda (λ) atau kappa (κ). Pada manusia terdiri dari 60% adalah kappa dan 40% lambda, sedangkan pada mencit 95% kappa dan 5% lambda. Satu molekul antibodi hanya mengandung lambda saja atau kappa saja dan tidak pernah keduanya.



Setiap rantai panjang (VH) mempunyai berat molekul sekitar 50.000 dalton, yang terdiri dari daerah variabel (V) dan konstan ©. Rantai panjang (VH) dan rantai pendek (VL) terdiri dari sejumlah homolog yang mengandung kelompok sequence asam amino yang mirip tetapi tidak identik. Unit-unit homolog tersebut terdiri dari 110 asam amino yang disebut domain imunoglobulin. Rantai panjang mengandung satu domain variabel (VH) dan tiga dari empat domain konstan lainnya (CH1, CH2, CH3, CH4, bergantung pada klas dan isotipe antibodi). Daerah antara CH1 dan CH2 disebut daerah hinge (engsel), yang memudahkan pergerakan / fleksibilitas dari lengan Fab dari bentuk Y molekul anti bodi tersebut. Hal itu menyebabkan lengan tersebut dapat membuka atau menutup untuk dapat mengikat dua antigen determinan yang terpisahkan oleh jarak diantar kedua lengan tersebut.


Rantai panjang juga dapat meningkatkan fungsi aktifitas dari molekul antibodi. Ada 5 klas antibodi yaitu: IgG, IgA, IgM, IgE dan IgD, yang dibedakan menurut jenis rantai panjangnya masing-masing yaitu: γ, α, μ, ε dan δ. Klas antibodi IgD, IgE dan IgG terbentuk dari struktur tunggal, sedangkan IgA mengandung dua atau tiga unit dan IgM terdiri dari 5 yang dihubungkan dengan sambungan disulfida. Antibodi IgG dibagi menjadi 4 subklas (disebut juga isotipe) yaitu IgG1, IgG2, IgG3, dan IgG4.

Struktur dan fungsi IgG dapat dipecah oleh enzim pepsin dan papain menjadi beberapa fragmen yang mempunyai sifat biologi yang khas. Perlakuan dengan pepsin dapat memisahkan Fab2 dari daerah persambungan hinge (engsel). Karena Fab2 adalah merupakan molekul bivalen sehingga ia dapat mempresipitasi antigen. Enzim papain dapat memutus daerah hinge diantara CH1 dan CH2 untuk membentuk dua fragmen yang identik dan dapat bertahan dengan reaksi antigen-antibodi dan juga satu non-antigen-antibodi fragmen yaitu daerah fragmen kristalisabel (Fc). Bagian Fc ini adalah glikosilat yang mempunyai banyak fungsi efektor (yaitu: binding komplemen, binding dengan sel reseptor pada makrofag dan monosit dan sebagainya) dan dapat digunakan untuk membedakan satu klas antibodi dengan lainnya.

Imunoglobulin A (IgA).

Imunoglobulin A adalah antibodi sekretori, ditemukan dalam saliva, keringat, air mata, cairan mukosa, susu, cairan lambung dan sebgainya. Yang aktiv adalah bentuk dimer (yy), sedangkan yang monomer (y) tidak aktif. Jaringan yang mensekresi bentuk bentuk dimer ini ialah sel epithel yang bertindak sebagai reseptor IgA, yang kemudian sel tersebut bersama IgA masuk kedalam lumen. Fungsi dari IgA ini ialah:

- Mencegah kuman patogen menyerang permukaan sel mukosa

- Tidak efektif dlam mengikat komplemen

- Bersifat bakterisida dengan kondisinya sebagai lysozim yang ada dalam cairan sekretori yang mengandung IgA

- Bersifat antiviral dan glutinin yang efektif

Imunoglobulin D (IgD)

Imunoglobulin D ini berjumlah sedikit dalam serum. IgD adalah penenda permukaan pada sel B yang matang. IgD dibentuk bersama dengan IgM oleh sel B normal. Sel B membentuk IgD dan IgM karena untuk membedakan unit dari RNA.

Imunoglobulin E (IgE)

Imunoglobulin E ditemukan sedikit dalam serum, terutama kalau berikatan dengan mast sel dan basophil secara efektif, tetapi kurang efektif dengan eosinpphil. IgE berikatan pada reseptor Fc pada sel-sel tersebut. Dengan adanya antigen yang spesifik untuk IgE, imunoglobulin ini menjadi bereaksi silang untuk memacu degranulasi dan membebaskan histamin dan komponen lainnya sehingga menyebabkan reaksi anaphylaksis. IgE sangat berguna untuk melawan parasit.

Imunoglobulin M (IgM)

Imunoglobulin m ditemukan pada permukaan sel B yang matang. IgM mempunyai waktu paroh biologi 5 hari, mempunyai bentuk pentamer dengan lima valensi. Imunoglobulin ini hanya dibentuk oleh faetus. Peningkatan jumlah IgM mencerminkan adanya infeksi baru atai adanya antigen (imunisasi/vaksinasi). IgM adalah merupakan aglutinin yang efisien dan merupakan isohem- aglutinin alamiah. IgM sngat efisien dalam mengaktifkan komplemen. IgM dibentuk setelah terbentuk T-independen antigen, dan setelah imunisasi dengan T-dependent antigen.

Imunoglobulin G (IgG)

Imunoglobulin G adalah divalen antigen. Antibodi ini adalah imunoglobulin yang paling sering/banyak ditemukan dalam sumsum tulang belakang, darah, lymfe dan cairan peritoneal. Ia mempunyai waktu paroh biologik selama 23 hari dan merupakan imunitas yang baik (sebagai serum transfer). Ia dapat mengaglutinasi antigen yang tidak larut. IgG adalah satu-satunya imunoglobulin yang dapat melewati plasenta. Kemampuannya melewati plasenta untuk setiap jenis hewan berturut-turut adalah: Rodentia>primata>anjing/kucing> manusia=babi=kuda. IgG adalah opsonin yang baik sebagai pagosit pada ikatan IgG reseptor. Imunoglobulin ini merangsang “antigen-dependen cel-mediated cytotoxicity” (ADCC)-IgG Fab untuk mengikat target sel, “Natural Killer”(NK) Fc-reseptor, mengikat Ig Fc, dan sel NK membebaskan citotoksik pada sel target. IgFc juga mengaktifkan komplemen, menetralkan toksin, imobilisasi bakteri dan menghambat serangan virus.




STRUKTUR IMUNOGLOBULIN
Imunoglobulin atau antibodi adalah sekelompok glikoprotein yang terdapat dalam serum atau cairan tubuh pada hampir semua mamalia. Imunoglobulin termasuk dalam famili glikoprotein yang mempunyai struktur dasar sama, terdiri dari 82-96% polipeptida dan 4-18% karbohidrat. Komponen polipeptida membawa sifat biologik molekul antibodi tersebut. Molekul antibodi mempunyai dua fungsi yaitu mengikat antigen secara spesifik dan memulai reaksi fiksasi komplemen serta pelepasan histamin dari sel mast. Pada manusia dikenal 5 kelas imunoglobulin. Tiap kelas mempunyai perbedaan sifat fisik, tetapi pada semua kelas terdapat tempat ikatan antigen spesifik dan aktivitas biologik berlainan. Struktur dasar imunoglobulin terdiri atas 2 macam rantai polipeptida yang tersusun dari rangkaian asam amino yang dikenal sebagai rantai H (rantai berat) dengan berat molekul 55.000 dan rantai L (rantai ringan) dengan berat molekul 22.000. Tiap rantai dasar imunoglobulin (satu unit) terdiri dari 2 rantai H dan 2 rantai L. Kedua rantai ini diikat oleh suatu ikatan disulfida sedemikian rupa sehingga membentuk struktur yang simetris. Yang menarik dari susunan imunoglobulin ini adalah penyusunan daerah simetris rangkaian asam amino yang dikenal sebagai daerah domain, yaitu bagian dari rantai H atau rantai L, yang terdiri dari hampir 110 asam amino yang diapit oleh ikatan disulfid interchain, sedangkan ikatan antara 2 rantai dihubungkan oleh ikatan disulfid interchain. Rantai L mempunyai 2 tipe yaitu kappa dan lambda, sedangkan rantai H terdiri dari 5 kelas, yaitu rantai G (γ), rantai A (α), rantai M (μ), rantai E (ε) dan rantai D (δ). Setiap rantai mempunyai jumlah domain berbeda. Rantai pendek L mempunyai 2 domain; sedang rantai G, A dan D masing-masing 4 domain, dan rantai M dan E masing-masing 5 domain.
Rantai dasar imunoglobulin dapat dipecah menjadi beberapa fragmen. Enzim papain memecah rantai dasar menjadi 3 bagian, yaitu 2 fragmen yang terdiri dari bagian H dan rantai L. Fragmen ini mempunyai susunan asam amino yang bervariasi sesuai dengan variabilitas antigen. Fab memiliki satu tempat tempat pengikatan antigen (antigen binding site) yang menentukan spesifisitas imunoglobulin. Fragmen lain disebut Fc yang hanya mengandung bagian rantai H saja dan mempunyai susunan asam amino yang tetap. Fragmen Fc tidak dapat mengikat antigen tetapi memiliki sifat antigenik dan menentukan aktivitas imunoglobulin yang bersangkutan, misalnya kemampuan fiksasi dengan komplemen, terikat pada permukaan sel makrofag, dan yang menempel pada sel mast dan basofil mengakibatkan degranulasi sel mast dan basofil, dan kemampuan menembus plasenta.
Enzim pepsin memecah unit dasar imunoglobulin tersebut pada gugusan karboksil terminal sampai bagian sebelum ikatan disulfida (interchain) dengan akibat kehilangan sebagian besar susunan asam amino yang menentukan sifat antigenik determinan, namun demikian masih tetap mempunyai sifat antigenik. Fragmen Fab yang tersisa menjadi satu rangkaian fragmen yang dikenal sebagai F(ab2) yang mempunyai 2 tempat pengikatan antigen (lihat Gambar 9-5).

KLASIFIKASI IMUNOGLOBULIN
Klasifikasi imunoglobulin berdasarkan kelas rantai H. Tiap kelas mempunyai berat molekul, masa paruh, dan aktivitas biologik yang berbeda. Pada manusia dikenal 4 sub kelas IgG yang mempunyai rantai berat γl, γ2, γ3, dan γ4. Perbedaan antar subkelas lebih sedikit dari pada perbedaan antar kelas.

Imunoglobulin G
IgG mempunyai struktur dasar imunoglobulin yang terdiri dari 2 rantai berat H dan 2 rantai ringan L. IgG manusia mempunyai koefisien sedimentasi 7 S dengan berat molekul sekitar 150.000. Pada orang normal IgG merupakan 75% dari seluruh jumlah imunoglobulin.
Imunoglobulin G terdiri dari 4 subkelas, masing-masing mempunyai perbedaan yang tidak banyak, dengan perbandingan jumlahnya sebagai berikut: IgG1 40-70%, IgG2 4-20%, IgG3 4-8%, dan IgG4 2-6%. Masa paruh IgG adalah 3 minggu, kecuali subkelas IgG3 yang hanya mempunyai masa paruh l minggu. Kemampuan mengikat komplemen setiap subkelas IgG juga tidak sama, seperti IgG3 > IgGl > IgG2 > IgG4. Sedangkan IgG4 tidak dapat mengikat komplemen dari jalur klasik (ikatan C1q) tetapi melalui jalur alternatif. Lokasi ikatan C1q pada molekul IgG adalah pada domain CH2.







Gambar 9-5. Struktur dasar imunoglobulin.
(Dikutip dengan modifikasi dari DP Stites dan AI Terr, 1991)

Sel makrofag mempunyai reseptor untuk IgG1 dan IgG3 pada fragmen Fc. Ikatan antibodi dan makrofag secara pasif akan memungkinkan makrofag memfagosit antigen yang telah dibungkus antibodi (opsonisasi). Ikatan ini terjadi pada subkelas IgG1 dan IgG3 pada lokasi domain CH3.
Bagian Fc dari IgG mempunyai bermacam proses biologik dimulai dengan kompleks imun yang hasil akhirnya pemusnahan antigen asing. Kompleks imun yang terdiri dari ikatan sel dan antibodi dengan reseptor Fc pada sel killer memulai respons sitolitik (antibody dependent cell-mediated cytotoxicity = ADCC) yang ditujukan pada antibodi yang diliputi sel. Kompleks imun yang berinteraksi dengan sel limfosit pada reseptor Fc pada trombosit akan menyebabkan reaksi dan agregasi trombosit. Reseptor Fc memegang peranan pada transport IgG melalui sel plasenta dari ibu ke sirkulasi janin.

Imunoglobulin M
Imunoglobulin M merupakan 10% dari seluruh jumlah imunoglobulin, dengan koefisien sedimen 19 S dan berat molekul 850.000-l.000.000. Molekul ini mempunyai 12% dari beratnya adalah karbohidrat. Antibodi IgM adalah antibodi yang pertama kali timbul pada respon imun terhadap antigen dan antibodi yang utama pada golongan darah secara alami. Gabungan antigen dengan satu molekul IgM cukup untuk memulai reaksi kaskade komplemen.
IgM terdiri dari pentamer unit monomerik dengan rantai μ dan CH. Molekul monomer dihubungkan satu dengan lainnya dengan ikatan disulfida pada domain CH4 menyerupai gelang dan tiap monomer dihubungkan satu dengan lain pada ujung permulaan dan akhirnya oleh protein J yang berfungsi sebagai kunci.

Imunoglobulin A
IgA terdiri dari 2 jenis, yakni IgA dalam serum dan IgA mukosa. IgA dalam serum terdapat sebanyak 20% dari total imunoglobulin, yang 80% terdiri dari molekul monomer dengan berat molekul 160.000, dan sisanya 20% berupa polimer dapat berupa dua, tiga, empat atau lima monomer yang dihubungkan satu dengan lainnya oleh jembatan disulfida dan rantai tunggal J (lihat Gambar 9-6). Polimer tersebut mempunyai koefisien sedimentasi 10,13,15 S.

Gambar 9-6. Struktur IgA dan sIgA.
(Dikutip dengan modifikasi dari DP Stites dan AI Terr, 1991)

Sekretori IgA
Sekretori imunoglobulin A (sIgA) adalah imunoglobulin yang paling banyak terdapat pada sekret mukosa saliva, trakeobronkial, kolostrum/ASI, dan urogenital. IgA yang berada dalam sekret internal seperti cairan sinovial, amnion, pleura, atau serebrospinal adalah tipe IgA serum.
SIgA terdiri dari 4 komponen yaitu dimer yang terdiri dari 2 molekul monomer, dan sebuah komponen sekretori serta sebuah rantai J. Komponen sekretori diproduksi oleh sel epitel dan dihubungkan pada bagian Fc imunoglobulin A oleh rantai J dimer yang memungkinkan melewati sel epitel mukosa (lihat Gambar 4-6). SIgA merupakan pertahanan pertama pada daerah mukosa dengan cara menghambat perkembangan antigen lokal, dan telah dibuktikan dapat menghambat virus menembus mukosa.

Imunoglobulin D
Konsentrasi IgD dalam serum sangat sedikit (0,03 mg/ml), sangat labil terhadap pemanasan dan sensitif terhadap proteolisis. Berat molekulnya adalah 180.000. Rantai δ mempunyai berat molekul 60.000 – 70.000 dan l2% terdiri dari karbohidrat. Fungsi utama IgD belum diketahui tetapi merupakan imunoglobulin permukaan sel limfosit B bersama IgM dan diduga berperan dalam diferensiasi sel ini.
Provided by



2003 Digitized by USU digital libraray 1
PERANAN LEUKOSIT SEBAGAI ANTI INFLAMASI ALERGIK DALAM TUBUH
Dr. ZUKESTI EFFENDI
Bagian Histologi
Fakultas Kedokteran
Universitas Sumatera Utara
PENDAHULUAN
Dewasa ini penyakit alergi sudah merupakan penyakit dimana para sarjana
Kedokteran telah mengembangkan, baik terapi maupun penelitian-penelitian tentang
perkembangan, pencegahan dan pengobatan alergi maupun penyakit-penyakit, yang
berhubungan dengan alergi.
Von Pirquet (1906), memperkenalkan istilah alergi untuk suatu keaadaan
yang disebabkan oleh reaksi imunoligik spesifik. Yang ditimbulkan oleh allergen
sehingga pada umumnya dalam pertahanan seluler dan humoral organisme terhadap
benda asing, leukosit sangat berperan.
Dengan berkembangnya biologi molekuler dewasa ini para ahli imunologi
mengungkapkan pada keadaan alergi akan dilepas mediator-mediator inflanlasi oleh
sel system imun. Dalam menghadapi penyakit-penyakit yang didasari iflanlasi alergi,
seperti asma bronchial, rinitis alergika, dermatitis urtikaria, alergi obat, alergi
makanan maupun alergi dari toksin bakteri yang menyerang ginjal (glomerulonepritis
chronis yang disebabkan toksin stretococus), untuk ini perlu penaganan yang serius.
Mediator-mediator inflamasi yang dilepas akan menyebabkan kontraksimotot polos,
meningkatkan sekresi mukos, meningkatkan aliran darah, meningkatkan permea
bilitas kapiler dan pengerahan sel-sel inflamasi, kesemua kejadian ini disebut
“inflamasi alergik". Sel-sel darah yang berperan dalam kejadian inflamasi alergik ini
adalah sel darah putih atau leukosit dengan turunanya; neutrofil, basofil, aosinofil,
limfosit, mastosit makrofag, sel plasma, sel epitel dan lain-lain, akhir-akhir ini para
ahli mengungkapkan pula keterlibatan mediator inflamasi TNF. Neuropeptida, IL-2.
Histologi leukosit
Leukosit adalah sel darah Yang mengendung inti, disebut juga sel darah
putih. Didalam darah manusia, normal didapati jumlah leukosit rata-rata 5000-9000
sel/mm3, bila jumlahnya lebih dari 12000, keadaan ini disebut leukositosis,
bilakurang dari 5000 disebut leukopenia. Dilihat dalam mikroskop cahaya maka sel
darah putih mempunyai granula spesifik (granulosit), yang dalam keadaan hidup
berupa tetesan setengah cair, dalam sitoplasmanya dan mempunyai bentuk inti yang
bervariasi, Yang tidak mempunyai granula, sitoplasmanya homogen dengan inti
bentuk bulat atau bentuk ginjal. Terdapat dua jenis leukosit agranuler : linfosit sel
kecil, sitoplasma sedikit; monosit sel agak besar mengandung sitoplasma lebih
banyak. Terdapat tiga jenis leukosir granuler: Neutrofil, Basofil, dan Asidofil (atau
eosinofil) yang dapat dibedakan dengan afinitas granula terhadap zat warna netral
basa dan asam. Granula dianggap spesifik bila ia secara tetap terdapat dalam jenis
leukosit tertentu dan pada sebagian besar precursor (pra zatnya).
Leukosit mempunyai peranan dalam pertahanan seluler dan humoral
organisme terhadap zat-zat asingan. Leukosit dapat melakukan gerakan amuboid
dan melalui proses diapedesis lekosit dapat meninggalkan kapiler dengan menerobos
antara sel-sel endotel dan menembus kedalam jaringan penyambung.
Jumlah leukosit per mikroliter darah, pada orang dewasa normal adalah
4000-11000, waktu lahir 15000-25000, dan menjelang hari ke empat turun sampai
12000, pada usia 4 tahun sesuai jumlah normal. Variasi kuantitatif dalam sel-sel
2003 Digitized by USU digital libraray 2
darah putih tergantung pada usia. waktu lahir, 4 tahun dan pada usia 14 -15 tahun
persentase khas dewasa tercapai.
Bila memeriksa variasi Fisiologi dan Patologi sel-sel darah tidak hanya
persentase tetapi juga jumlah absolut masing-masing jenis per unit volume darah
harus diambil.
Neutrofil
Neutrofil berkembang dalam sum-sum tulang dikeluarkan dalam sirkulasi, selsel
ini merupakan 60 -70 % dari leukosit yang beredar. Garis tengah sekitar 12 um,
satu inti dan 2-5 lobus. Sitoplasma yang banyak diisi oleh granula-granula spesifik
(0;3-0,8um) mendekati batas resolusi optik, berwarna salmon pinkoleh campuran
jenis romanovky. Granul pada neutrofil ada dua :
- Azurofilik yang mengandung enzym lisozom dan peroksidase.
- Granul spesifik lebih kecil mengandung fosfatase alkali dan zat-zat bakterisidal
(protein Kationik) yang dinamakan fagositin.
Neutrofil jarang mengandung retikulum endoplasma granuler, sedikit mitokonria,
apparatus Golgi rudimenter dan sedikit granula glikogen. Neutrofil merupakan garis
depan pertahanan seluler terhadap invasi jasad renik, menfagosit partikel kecil
dengan aktif. Adanya asam amino D oksidase dalam granula azurofilik penting dalam
penceran dinding sel bakteri yang mengandung asam amino D. Selama proses
fagositosis dibentuk peroksidase. Mielo peroksidase yang terdapat dalam neutrofil
berikatan dengan peroksida dan halida bekerja pada molekultirosin dinding sel
bakteri dan menghancurkannya.
Dibawah pengaruh zat toksik tertentu seperti streptolisin toksin streptokokus
membran granula-granula neutrofil pecah, mengakibatkan proses pembengkakan
diikuti oleh aglutulasiorganel- organel dan destruksi neutrofil.
Neotrofil mempunyai metabolisme yang sangat aktif dan mampu melakukan
glikolisis baik secara arrob maupun anaerob. Kemampuan nautropil untuk hidup
dalam lingkungan anaerob sangat menguntungkan, karena mereka dapat membunuh
bakteri dan membantu membersihkan debris pada jaringan nekrotik. Fagositosis oleh
neutrfil merangsang aktivitas heksosa monofosfat shunt, meningkatkan
glicogenolisis.
EOSINOFIL
Jumlah eosinofil hanya 1-4 % leukosit darah, mempunyai garis tengah 9um
(sedikit lebih kecil dari neutrofil). Inti biasanya berlobus dua, Retikulum endoplasma
mitokonria dan apparatus Golgi kurang berkembang. Mempunyai granula ovoid yang
dengan eosin asidofkik, granula adalah lisosom yang mengandung fosfatae asam,
katepsin, ribonuklase, tapi tidak mengandung lisosim. Eosinofil mempunyai
pergerakan amuboid, dan mampu melakukan fagositosis, lebih lambat tapi lebih
selektif dibanding neutrifil. Eosinofil memfagositosis komplek antigen dan anti bodi,
ini merupakan fungsi eosinofil untuk melakukan fagositosis selektif terhadap komplek
antigen dan antibody. Eosinofil mengandung profibrinolisin, diduga berperan
mempertahankan darah dari pembekuan, khususnya bila keadaan cairnya diubah
oleh proses-proses Patologi. Kortikosteroid akan menimbulkan penurunan jumlah
eosinofil darah dengan cepat.
BASOFIL
Basofil jumlahnya 0-% dari leukosit darah, ukuran garis tengah 12um, inti
satu, besar bentuk pilihan ireguler, umumnya bentuk huruf S, sitoplasma basofil
terisi granul yang lebih besar, dan seringkali granul menutupi inti, granul bentuknya
2003 Digitized by USU digital libraray 3
ireguler berwarna metakromatik, dengan campuran jenis Romanvaki tampak
lembayung. Granula basofil metakromatik dan mensekresi histamin dan heparin, dan
keadaan tertentu, basofil merupakan sel utama pada tempat peradangan ini
dinamakan hypersesitivitas kulit basofil. Hal ini menunjukkan basofil mempunyai
hubungan kekebalan.
LIMFOSIT
Limfosit merupakan sel yang sferis, garis tengah 6-8um, 20-30% leukosit
darah.Normal, inti relatifbesar, bulat sedikit cekungan pada satu sisi, kromatin inti
padat, anak inti baru terlihat dengan electron mikroskop. Sitoplasma sedikit sekali,
sedikit basofilik, mengandung granula-granula azurofilik. Yang berwarna ungu
dengan Romonovsky mengandung ribosom bebas dan poliribisom. Klasifikasi lainnya
dari limfosit terlihat dengan ditemuinya tanda-tanda molekuler khusus pada
permukaan membran sel-sel tersebut. Beberapa diantaranya membawa reseptos
seperti imunoglobulin yang mengikat antigen spesifik pada membrannya. Lirnfosit
dalam sirkulasi darah normal dapat berukuran 10-12um ukuran yang lebih besar
disebabkan sitoplasmanya yang lebih banyak. Kadang-kadang disebut dengan
limfosit sedang. Sel limfosit besar yang berada dalam kelenjar getah bening dan
akan tampak dalam darah dalam keadaan Patologis, pada sel limfosit besar ini inti
vasikuler dengan anak inti yang jelas. Limfosit-limfosit dapat digolongkan
berdasarkan asal, struktur halus, surface markers yang berkaitan dengan sifat
imunologisnya, siklus hidup dan fungsi.
MONOSIT
Merupakan sel leukosit yang besar 3-8% dari jumlah leukosit normal,
diameter 9-10 um tapi pada sediaan darah kering diameter mencapai 20um, atau
lebih. Inti biasanya eksentris, adanya lekukan yang dalam berbentuk tapal kuda.
Kromatin kurang padat, susunan lebih fibriler, ini merupakan sifat tetap momosit
Sitoplasma relatif banyak dengan pulasan wrigh berupa bim abu-abu pada sajian
kering. Granula azurofil, merupakan lisosom primer, lebih banyak tapi lebih kecil.
Ditemui retikulim endoplasma sedikit. Juga ribosom, pliribosom sedikit, banyak
mitokondria. Apa ratus Golgi berkembang dengan baik, ditemukan mikrofilamen dan
mikrotubulus pada daerah identasi inti.
Monosit ditemui dalam darah, jaingan penyambung, dan rongga-rongga
tubuh. Monosit tergolong fagositik mononuclear (system retikuloendotel) dan
mempunyai tempat-tempat reseptor pada permukaan membrannya. Untuk
imunoglobulin dan komplemen.
Monosit beredar melalui aliran darah, menembus dinding kapiler masuk
kedalam jaringan penyambung. DaIam darah beberapa hari. Dalam jaringan
bereaksi dengan limfosit dan memegang peranan penting dalam pengenalan dan
interaksi sel-sel immunocmpetent dengan antigen.
PERKEMBANGAN LIMFOSlT DALAM PROSES IMMUN
Seperti kita ketahui bahwa limfosit yang bersikulasi terutama berasal dari
timus dan organ limfoid perifer, limpa, limfonodus, tonsil dan sebagainya. Akan
tetapi mungkin semua sel pregenitor limfosit berasal dari sum-sum tulang, beberapa
diantara limfositnya yang secara relatif tidak mengalami diferensiasi ini bermigrasi ke
timus, lalu memperbanyak diri, disini sel limfosit ini memperoleh sifat limfosit T,
kemudian dapat masuk kembali kedalam aliran darah, kembali kedalam sum-sum
tulang atau ke organ limfoid perifer dan dapat hidup beberapa bulan atau tahun.
Sel-sel T bertanggung jawab terhadap reaksi immune seluler dan mempunyai
reseptor permukaan yang spesifik untuk mengenal antigen asing. Limfosit lain tetap
diam disum-sum tulang berdiferensiasi menjadi limfosit B berdiam dan berkembang
2003 Digitized by USU digital libraray 4
didalam kompertemenya sendiri. Sel B bertugas untuk memproduksi antibody
humoral antibody response yang beredar dalam peredaran darah dan mengikat
secara khusus dengan antigen asing yang menyebabkan antigen asing tersalut
antibody, kompleks ini mempertinggi fagositosis, lisis sel dan sel pembunuh (killer
sel atau sel K) dari organisme yang menyerang. Sel T dan sel B secara marfologis
hanya dapat dibedakan ketika diaktifkan oleh antigen. Tahap akhir dari diferensiasi
sel-sel B yang diaktifkan berwujud sebagai sel plasma. Sel plasma mempunyai
retikulum endoplasma kasar yang luas yang penuh dengan molekul-molekul
antibody, sel T yang diaktifkan mempunyai sedikit endoplasma yang kasar tapi
penuh dengan ribosom bebas.
Pengertian Antigen dan Antibodi
Substansi asing yang bertemu dengan system itu bekerja sebagai antigen,
anti-melawan, + genin menghasilkan. Contohnya jika terjadi suatu substansi terjadi
suatu respon dari tuan rumah, respon ini dapat selular, humoral atau keduanya.
Antigen dapat utuh seperti sel bakteri sel tumor atau berupa makro molekul, seperti
protein, polisakarida atau nucleoprotein. Pada keadaan apa saja spesitas respon
imun secara relatif dikendalikan oleh pengaruh molekuler kecil dari antigendetenniminan
antigenic untuk protein dan polisakarida, determinan antigenic terdiri
atas empat sampai enam asam amino atau satuan monosa karida. Jika komplek
antigen Yang memiliki banyak determinan misalnya sel bakteri akan membangkitkan
satu spectrum respon humoral dan selular.
Antibodi, disebut juga imunoglobulin adalah glikkoprotein plasma yang
bersirkulasi dan dapat berinteraksi secara spesifik dengan determinan antigenic yang
merangsang pembentukan antibody, antibody disekresikan oleh sel plasma yang
terbentuk melalui proliferasi dan diferensiasi limfosit B.
Pada manusia ditemukan lima kelas imunoglobulin, Ig.G, terdiri dari dua
rantai ringan yang identik dan dua rantai berat yang identik diikat oleh ikatan
disulfida dan tekanan non kovalen. Ig G merupakan kelas yang paling banyak
jumlahnya, 75 % dari imunoglobulin serum IgG bertindak sebagai suatu model bagi
kelas-kelas yang lain.
Terjadinya respon imun dari tubuh.
Kepekaan tubuh terhadap benda asing (antigen 0 akan menimbulkan reaksi
tubuh yang dikenal sebagai Respon imun Respon imun ini mempunyai dampak positif
terhadap, tubuh yaitu dengan timbulnya suatu proses imunisasi kekebalan tubuh
terhadap antigen tersebut, dan dampak negatifnya berupa reaksi hypersensitifitas.
Hypersensitifitas merupakan reaksi yang berlebihan dari tubuh terhadap antigen
dimana akan mengganggu fungsi sistem imun yang menimbulkan efek protektif yaitu
merusak jaringan.
Proses kerusakan yang paling cepat terjadi berupa degranulasi sel dan
derifatnya (antara lain sel basofil, set Mast dan sel plasma) yang melepaskan
mediator-mediatonya yaitu histamin, serotonin, bradikinin, SRS=A, lekotrin Eusinohil
chemotactic Factor (ECF) dan sebagainya. Reaksi tubuh terhadap pelepasan
mediator ini menimbulkan penyakit berupa asthma bronchial, rhinitis aIergika,
urtikaria, diaree dan bisa menimbulkan shock. Secara lambat akan terjadi reaksi
kerusakan jaringan berupa sitolisis dari sel-sel darah merah sitotokis terhadap organ
tubuh seperti ginjal (glomeruloneftitis), serum siknesdermatitis kontak, reaksi
tuberculin dan sebagainya, rheumatoid arthritis. coom dan gell membagi 4 jenis
sesitifitas, dimana dapat dilihat apa yang terjadi pada sel-sel leukosit.
Pada type I (padareaksi anafilaktik) terjadi antigen bergabung dengan IgE
(imunoglobin tipe E-antibodies tipe E) yang terikat pada mast sel -sel basofil dan sel
plasma. Reaksi terhadap tubuh terjadi dalam beberapa menit.
2003 Digitized by USU digital libraray 5
Pada type II (pada reaksi sititoksik) dimana antigen mengikat diri pada
membran sel, yang pada penggabungan anti gen mengikat IgG atau IgM yang bebas
dalam cairan tubuh akan menghancurkan sel yang mengikat anti gen tersebut.
Reaksi ini terdapat pada tranfusi darah, anemia hemolitika.
Pada Type III ( reaksi artrhus ) merupakan reaksi anti gen dan antibody
komplek dimana gen bergabung dengan IgG atau IgM menjadi suatu komplek, yang
mengikat diri antara lain sel-sel ginjal, paru-paru dan sendi.
Terjadilah aktifitas dari komplemen (komplemen protein dalam darah) dan pelepasan
zat-toksis. Ditemui pada glomerulo nephritis, serum scness, rheumatk arthritis.
Type IV ( delayed ), antigen merupakan sel protein atau sel asing yang
bereaksi dengan limfosit, limfosit melepaskan mediator aktif yaitu limfokin, terjadi
reaksi pada kulit, reaksi pada tranplantasi, reaksi tuberculin dan dermatitis kontak.
Imonopatogenesis.
Pada Imunopatologi menjelaskan bahwa reaksi alergi diawali dengan tahap
sensit, kemudian diikuti reaksi ale yang terlepas dari sel-sel mast (mastosit) dan
atau sel basofil yang berkontak ulang dengan allergen spesifiknya (IS hizaka, Tomiko
dan Ishizaka 1971). Saat ini lebih jelas terutama pada rhinitis alergika diketahui
terdiri dari dua fase (Kaliner 1987, Lichtensin 1988, pertama reaksi alergi fase cepat
(RAFC,immediet phas-allergic reaction), berlangsung sampai satu jam setelah
berkontak alergan kedua, reaksi alergis fase lambat (RAFL, Late phase allergic
reaction) yang berlangsung sampai 24 jam bahkan sampai 48 jam kemudian,
dengan puncak reaksi pada 4 – 8 jam pertama.
1. Tahap Sensitasi
Pada awal reaksi alergis sebenarnya dimulai dengan respon pengenalan
alergan/antigen oleh sel darah putih yang dinamai sel makrofag, monosit (Brown
dkk, 1991) dan atau sel denritik (Mc William, 1996) Sel-sel tersebut berperan
sebagai sel penyaji (antigen presenting cells, sel APC) dan berada dimukosa (dalam
dimukosa hidung), antigen/allergen yang menempel pada permukaan mukosa
ditangkap oleh sel APC, setelah melalui proses internal dalam sel APC, dari malergen
tersebut terbentuk fragmen pendek peptida imunogenik, Frakmen ini bergabung
dengan molekul HLA = kelas II @B heterodimer dalam endoplasmic reticullum sel
APC. Penggabungan yang terjadi akan membentuk komplek peptide-MHC-class II
(mayor histocompatibility comlolex class II) yang kemudian dipresentasikan
dipermukaan sel APC; kepada salah satu limfosit T yaitu Holper-T cell (klon T-CD4 +,
dimana Tho), jika selanjutnya tho ini memiliki molekul reseptor spesifik terhadap
molekul komplek peptide –MHC-II maka akan terjadi penggabungan kedua molekul
tersebut.
Akibat selanjutnya sel APC akan melepas sitokin Salah satunya Interkulin - I
(IL-I),sitokin akan mempengaruhi limfosit jenis T-CD4 + (Tho) yang jika sinyal
kostimulator (pro-inflamotori second Signal) induksinya cukup memadai, maka akan
terjadi aktivasi dan proliferasi sel Tho menjadi Th2 dan Th1; sel ini akan
memproduksi sitokin yang mempunyai spectrum luas sebagai molekul
imunoregulator, antara lain interleukin-3 (IL-3), IL-4, IL-5 dan IL-13. Sitokin IL-4
dan IL-13 akan ditangkap resepiornya pada permukaan limfisit B istirahat (resting B
sel), sehingga terjadi aktivasi limfosit B. Limfosit B ini memproduksi imunoglobulin E
(IgE), sedangkan IL-13 dapat berperan sendiri dalam keadaan IL-4 rendah (Naclerio
dkk, 1985, Geha, 1988), sehingga molekul IgE akan melimpah dan berada di
mukosa atau peredaran darah.
2. Reaksi Alergis
Molekul IgE yang beredar dalam sirkulasi darah akan memasuki jaringan dan
akan ditangkap oleh reseptor IgE yang berada pada permukaan sel metacromatik
2003 Digitized by USU digital libraray 6
(mastosit atau sel basofil), sel ini menjadi aktif. Apabila dua light chain IgE berkonta
dengan allergen spesifiknya maka akan terjadi degranulasi (pecahnya dinding sel)
mastosit/basofil dan akibainya terlepas mediator-mediator alergis. Reaksi alergis
yang segera terjadi akibat histamin tersebut dinamakan reaksi alergi fase cepat
(RAFC )yang mencapai puncaknya pada 15-20 menit pada paparan alergen dan
berakhir pada sekitar 60 menit kemudian.
Sepanjang RAFC mastosit juga melepaskan molekul-molekul kemotaktik
(penarik sel darah putih ke organ sasaran). Reaksi alergis fase cepat dapat berlanjut
terus sebagai reaksi alergi fase lambat (RAFL) sampai 24 bahkan 48 jam kemudian
(Kaliner 1987. Lichtenstein 1988). Tanda khas RAFL adalah terlihatnya pertambahan
jenis dan jumlah sel-sel inflamasi yang berakumulasi (berkumpul) di jaringan
sasaran.
Sepanjang RAFL (creticos 1998) sel eosiinofil aktif akan melepas berbagai
mediator, antara lain basic protein, leukotriens cytokines, Sedangkan basofil akan
melepas histamin, leukotriens dan cytokines. Disamping itu berbagai sel
mononuclear akan melepas histamin releasing factors (HRFs) Yang akan memacu
mastosit dan basofil dan melepas histamin lebih banyak lagi.
Sepanjang reaksi alergi fase cepat (RAFC) dan reaksi alergi fase lambat
(RAFL) sel-sel inflamasi dilepaskan sebagai prodak protein yang merupakan hasil
kenerja DNA sel-sel inflamasi tersebut yang dapat dibagi dalam tiga jenis, Gran dkk
1991;Bocher dkk; Coffman 1994 schleimer dkk 199.
Durham and Till 1998 Greticos 1998; Nel dkk 1998.
Mediator-mediator mastosit / basofil dan eosinofil, histamin, prostaglandin,
Leukotrien, ECFA,(eosinofi chemotactic factorof anaphylactic) NCFA (Neutrophil
chematactic factor of anaphylactic), dan kinin. Mediator yang berasal dari sel
eosinofil. PAF,LTB4,C5a kemoaktraktan. LTC4 PAF, ECP;. Molekul-molekul sitokin
inductor/stimulator/aktivalator RIA yang terdiri atas, IL-44 dan IL-33 yang
mempengaruhi limfosit B dalam memproduksi IgE. IL-3 dan IL-4 mempengaruhi
basofil memproduksi histamin. LTs dan sitokin-sitokin. IL-3 dan IL-5 mempengaruhi
sel eosinofil dalam memproduksi protein-protein basa LTs dan sitokin. HRFs yang
mempengaruhi mastosit dan basofil melepas histamin lebih banyak lagi. IL-4
mempengaruhi epitel, IL-13 mempengaruhii endotel dalam memproduksi VCAM
(Vascular cell adhesion molecule). Molekul-molekul activator/survival sel eosinofil,
GM=CSF dan IL-3
IL-3 dan IL-5 (inerleukin-3 dan interleukin-5)
Fibronektin
Molekul sitokin kemoaktraktan bagi sel eosinofil.
IL-5
IL-3.GM=CSF,IL-8
Lain-lain
Interaksi EOS aktif dan epitel mukosa hidung membentuk IL-8, RNTES dan
GGM=CSF. Molekul-molekul protein utama produk sel-sel inflamasi, sel endotel dan
mukosa yang berperan langsung menimbulkan alergi adalah antara lain; histamin,
leukotrien, prostak landing, kinin, platelet e activating factor (PAF), sitokin dan
kimokin. Histamin, dapat menggunakan H2 reseptor-mediated-antiinflmnatoriyactivity
meliputi inhibisi penglepasan enzin lisosomal neutrfil, inhibisi
pelepasan histamin dari leukosit perifer, dan aktivasi suppressor T-lymllocytes (
Metcalfe et al, 1981, cit White 1999). Histamin menggunakan efeknya pada berbagai
sel seperti sel oto polos, neuron, sel-sel kelenjar (endokrin dan Eksokrin, sel-sel
darah, dan sel-sel sistem imun (pearce 1991, cit White 1999), Histamin merupakan
vasodilator, konstruktor otot polos, stimulsn pennabilitas vaskuler yang kuat,
2003 Digitized by USU digital libraray 7
stimulan sekresi kelenjar mukosa saluran nafas dansekresi kelenjar lambung. (White
1999). Leukotrien diproduksi oleh berbagai sel inflanlasi seperti mastosit basofil,
eosinofil, neutrofil dan monosit.
Prostaglandin, berasal dari pecahan arachodonic acid membran sel yang
paling banyak diproduksi oleh mastosit paru-paru PGD2 (White 1999). Seperti kita
ketahui bahwa efek biologis dari prostaglandin adalah, memodulasi kontraksi otot
polos, penurunan permeabbilitas vaskuler, rasa gatal dan nyeri, dan agregasi serta
degranulasi platelet.(trombosit).
Kinin merupakan hormon peptida yang kuat terbentuk de novo dalam cairan
tubuh dan jaringan sepanjang inflamasi. Tiga jenis-jenis kinin yang penting dalam
tubuh adalah bredykinin, kallilidin (Iysbradykinin) dan met-lys bradykinin. Pada
reaksi inflamasi alergi dalam hidung kinin sangat banyak ditemukan. Platelet
activating factor (PAF) merupakan sebuah ether-linked phospholipid. PAF diproduksi
oleh mastosit, macrofag dan eosinofil. Aktifitas biologisnya meliputi pletelet aktivasi
neutrofil,dan kontraksi otot palos, PAF juga merangsang akumulasi eosinofil ke
permukaan endothelium yang merupakan langkah awal pengerahan eosinofil
kedalam jaringan. PAF memacu eosinofil untuk melepas berbagai protein basa yang
menyebabkan peningkatan kerusakan mukosa (terutama oleh MBP) dan
menyebabkan peningkatan ekspresi low-affiniti IgE reseptors pada eosinofil dan
monosit. PAF banyak dibentuk oleh sel eosinofil yang dapat menarik sel eosinofil
lainya memasuki jaringan. Sitikin (cytokine) memainkan peran yang penting
sepanjang reaksi alergi fase lambat, mastosit adalah sumber dari sitokin multifungsi
( Bradding et al 1996) cit White 1999 antara lain:
1. Aktifitas sel-sel inflasi (makrofag, selT, sel B dan eosinofil) diatur oleh IL=1, IL-4,
IL-5, IL-6, TNF- dan GM=CSF.
2. Pertumbuhan dan proliferasi sel B, dan pertumbuhan sel-T-helfer ditingkatkan
oleh IL-1.
3. IL-2 memacu proliferasi limfosit T dan aktivasi Limfosit B
4. IL- menyebabkan diferensiasi limfosit B menjadi IgE sekresing plasmasel dan
bersama TNF-@ meninkatkan pengaturan ekpresi high-dan low affinity IgE
reseptor pada sel-sel APC.
5. IL-5 menyebabkan aktivasi limfosit B, diferensiasi dan pemanjangan umur
eosinofil.
PENUTUP
Leukosit dan turunannya merupakan sel dan struktur dalam tubuh manusia
yang didistribusikan keseluruh tubuh dengan fungsi utamanya melindungi organisme
terhadap invasi dan pengrusakan oleh mikro organisme dan benda asing lainnya.
Sel-sel limfosit ini, mempunyai kemampuan untuk membedakan dirinya sendiri
(makromolekuler organisme sendiri) dari yang bukan diri sendiri (benda asing) dan
mengatur penghancuran dan inaktivasi dari benda asing yang mungkin merupakan
molekul yang terisolasi atau bagian dari mikro organisme Semua leukosit berasal
dari sum-sum tulang. kemudian mengalami kematangan pada organ limfoid lainnya.
2003 Digitized by USU digital libraray 8
KEPUSTAKAAN
1. Junguera, Lcarlos : Basik Histologi edition 8 1977.
2. C. Roland leeson, M.D, Ph.D: Textbook of Histology edition V 1990.
3. Iwin Sumarman, Strategi Rasional Pengelolaan Rinitis Alergis Perenial Buku
naskah Simposium Penanganan Alergi Secara Rasional Padang 2000.
4. Rusdi Aziz DR. Peranan hyposensitisasi alamiah pada pengobatan rasional
terhadap kasus alergi.
Naskah symposimll Penanganan Allergi Secara Rasional Padang 2000
5. Karnen Baratawijaya Immunologi Dasar. Didalam Soepannan Sarwono Waspadji,
edisi Ilmu penyakit Dalams, edisi 2. Jakarta: GayaBaru 1996.