ANTIGEN
A. Pengertian Antigen
Istilah antigen mengandung dua arti, pertama untuk mengambarkan molekul yang memacu respon imun (juga disebut imunogen) dan kedua untuk menunjukkan molekul yang dapat bereaksi dengan antibodi atau sel T yang sudah disensitasi (Baratawidjaja, 2006). Antigen yaitu setiap substansi asing yang dapat menginduksi timbulnya respon imun (Bloom, 2002).
Istilah antigen mengandung dua arti, pertama untuk mengambarkan molekul yang memacu respon imun (juga disebut imunogen) dan kedua untuk menunjukkan molekul yang dapat bereaksi dengan antibodi atau sel T yang sudah disensitasi (Baratawidjaja, 2006). Antigen yaitu setiap substansi asing yang dapat menginduksi timbulnya respon imun (Bloom, 2002).
B. Letak Antigen
Antigen ditemukan di permukaan seluruh sel, tetapi dalam keadaan normal, sistem kekebalan seseorang tidak bereaksi terhadap sel-nya sendiri. Sehingga dapat dikatakan antigen merupakan sebuah zat yang menstimulasi tanggapan imun, terutama dalam produksi antibodi. Antigen biasanya protein atau polisakarida, tetapi dapat juga berupa molekul Iainnya. Permukaan bakteri mengandung banyak protein dan polisakarida yang bersifat antigen, sehingga antigen bisa merupakan bakteri, virus, protein, karbohidrat, sel-sel kanker, dan racun.
Antigen ditemukan di permukaan seluruh sel, tetapi dalam keadaan normal, sistem kekebalan seseorang tidak bereaksi terhadap sel-nya sendiri. Sehingga dapat dikatakan antigen merupakan sebuah zat yang menstimulasi tanggapan imun, terutama dalam produksi antibodi. Antigen biasanya protein atau polisakarida, tetapi dapat juga berupa molekul Iainnya. Permukaan bakteri mengandung banyak protein dan polisakarida yang bersifat antigen, sehingga antigen bisa merupakan bakteri, virus, protein, karbohidrat, sel-sel kanker, dan racun.
C. Bagian Antigen
Secara fungsional antigen terbagi menjadi 2, yaitu:
1. Imunogen, yaitu molekul besar (disebut molekul pembawa). Bagian dari molekul antigen besar yang dikenali oleh sebuah antibodi (oleh reseptor sel-T) atau bagian antigen yang dapat membuat kontak fisik dengan reseptor antibodi, menginduksi pembentukan antibodi yang dapat diikat dengan spesifik oleh bagian dari antibodi atau oleh reseptor antibodi, bisa juga disebut determinan antigen atau epitop.
2. Hapten, yaitu kompleks yang terdiri atas molekul kecil. Bahan kimia ukuran kecil seperti dinitrofenol dapat diikat antibodi, tetapi bahan tersebut sendiri tidak dapat mengaktifkan sel B (tidak imunogenik). Untuk mengacu respon antibodi, bahan kecil tersebut perlu diikat oleh molekul besar. Hapten merupakan sejumlah molekul kecil yang dapat bereaksi dengan antibodi namun tidak dapat menginduksi produksi antibodi.
Secara fungsional antigen terbagi menjadi 2, yaitu:
1. Imunogen, yaitu molekul besar (disebut molekul pembawa). Bagian dari molekul antigen besar yang dikenali oleh sebuah antibodi (oleh reseptor sel-T) atau bagian antigen yang dapat membuat kontak fisik dengan reseptor antibodi, menginduksi pembentukan antibodi yang dapat diikat dengan spesifik oleh bagian dari antibodi atau oleh reseptor antibodi, bisa juga disebut determinan antigen atau epitop.
2. Hapten, yaitu kompleks yang terdiri atas molekul kecil. Bahan kimia ukuran kecil seperti dinitrofenol dapat diikat antibodi, tetapi bahan tersebut sendiri tidak dapat mengaktifkan sel B (tidak imunogenik). Untuk mengacu respon antibodi, bahan kecil tersebut perlu diikat oleh molekul besar. Hapten merupakan sejumlah molekul kecil yang dapat bereaksi dengan antibodi namun tidak dapat menginduksi produksi antibodi.
D.Klasifikasi Antigen
1.Pembagian antigen menurut epitop
a.Unideterminan, univalen
Hanya satu jenis determinan/ epitop pada satu molekul.
b. Unideterminan, multivalen
Hanya satu jenis determinan tetapi dua atau lebih determinan tersebut ditemukan pada satu molekul.
c. Multideterminan, univalen
Banyak epitop yang bermacam-macam tetapi hanya satu dari setiap macamnya (kebanyaan protein).
d. Multideterminan, multivalen
Banyak macam determinan dan banyak dari setiap macam pada satu molekul
1.Pembagian antigen menurut epitop
a.Unideterminan, univalen
Hanya satu jenis determinan/ epitop pada satu molekul.
b. Unideterminan, multivalen
Hanya satu jenis determinan tetapi dua atau lebih determinan tersebut ditemukan pada satu molekul.
c. Multideterminan, univalen
Banyak epitop yang bermacam-macam tetapi hanya satu dari setiap macamnya (kebanyaan protein).
d. Multideterminan, multivalen
Banyak macam determinan dan banyak dari setiap macam pada satu molekul
2. Pembagian antigen menurut
spesifisitas
a. Heteroantigen, yang dimiliki oleh banyak spesies
b. Xenoantigen, yang hanya dimiliki oleh banyak spesies tertentu
c. Aloantigen (isoantigen), yang spesifik untuk individu dalam satu spesies
d. Atigen organ spesifik, yang hanya dimiliki organ tertentu
e. Autoantigen, yang dimiliki alat tubuh sendiri
a. Heteroantigen, yang dimiliki oleh banyak spesies
b. Xenoantigen, yang hanya dimiliki oleh banyak spesies tertentu
c. Aloantigen (isoantigen), yang spesifik untuk individu dalam satu spesies
d. Atigen organ spesifik, yang hanya dimiliki organ tertentu
e. Autoantigen, yang dimiliki alat tubuh sendiri
3. Pembagian antigen menurut
ketergantungan terhadap sel T
a. T dependen, yang memerlukan pengenalan sel T terlebih dahulu untuk dapat menimbulkan respon antibodi.
b. T independen, yang dapat merangsang sel B tanpa bantuan sel T untuk mebentuk antibodi.
a. T dependen, yang memerlukan pengenalan sel T terlebih dahulu untuk dapat menimbulkan respon antibodi.
b. T independen, yang dapat merangsang sel B tanpa bantuan sel T untuk mebentuk antibodi.
4. Pembagian antigen menurut sifat
kimiawi
a. Hidrat arang (polisakarida)
Hidrat arang pada umumnya imunogenik.
b. Lipid
Lipid biasanya tidak imunogenik kecuali bila diikat protein pembawa.
c. Asam nukleat
Asam nukleat tidak imunogenik, tetapi dapat menjadi imunogenik bila diikat protein molekul pembawa.
d. Protein
Kebanyakan protein adalah imunogenik dan pada umumnya multideterminan dan univalent.
E. Sifat-Sifat Antigen
Antigen memiliki beberapa sifat-sifat yang khas pada antigen tersebut, sifat-sifat tersebut antaralain:
1. Keasingan
Kebutuhan utama dan pertama suatu molekul untuk memenuhi syarat sebagai imunogen adalah bahwa zat tersebut secara genetik asing terhadap hospes.
2. Sifat-sifat Fisik
Agar suatu zat dapat menjadi imunogen, ia harus mempunyai ukuran minimum tertentu, imunogen yang mempunyai berat molekul yang kecil, respon terhadap hospes minimal, dan fungsi zat tersebut sebagai hapten sesudah bergabung dengan proten-proten jaringan.
3. Kompleksitas
Faktor-faktor yang mempengaruhi kompleksitas imunogen meliputi baik sifat fisik maupun kimia molekul.
4. Bentuk-bentuk (Conformation)
Tidak adanya bentuk dari molekul tertentu yang imunogen. Polipeptid linear atau bercabang, karbohidrat linear atau bercabang, serta protein globular, semuanya mampu merangsang terjadinya respon imun.
5. Muatan (charge)
Imunogenitas tidak terbatas pada molekuler tertentu; tidak terbatas pada molekuler tertentu, zat-zat yang bermuatan positif, negatif, dan netral dapat imunogen. Namun demikian imunogen tanpa muatan akan memunculkan antibodi yang tanpa kekuatan.
6. Kemampuan masuk
Kemampuan masuk suatu kelompok determinan pada sistem pengenalan akan menentukan hasil respon imun.
F. Reaksi Antigen dan Antibodi
Dalam lingkungan sekitar kita terdapat banyak substansi bermolekul kecil yang bisa masuk ke dalam tubuh. Substansi kecil tersebut bisa menjadi antigen bila dia melekat pada protein tubuh kita. Substansi kecil yang bisa berubah menjadi antigen tersebut dikenal dengan istilah hapten. Substansi-substansi tersebut lolos dari barier respon non spesifik (eksternal maupun internal), kemudian substansi tersebut masuk dan berikatan dengan sel limfosit B yang akan mensintesis pembentukan antibodi.
Sebelum pertemuan pertamanya dengan sebuah antigen, sel-sel-B menghasilkan molekul immunoglobulin IgM dan IgD yang tergabung pada membran plasma untuk berfungsi sebagai reseptor antigen. Jumlahnya mencapai 50.000 sampai 100.000 per sel dan semuanya spesifik bagi satu determinan antigen. Sebuah antigen merangsang sel untuk membuat dan menyisipkan dalam membrannya molekul immunoglobulin yang memiliki daerah pengenalan spesifik untuk antigen itu. Setelah itu, limfosit harus membentuk immunoglobulin untuk antigen yang sama. Pemaparan kedua kali terhadap antigen yang sama memicu respon imun sekunder yang segera terjadi dan meningkatkan titer antibodi yang beredar sebanyak 10 sampai 100 kali kadar sebelumnya. Sifat molekul antigen yang memungkinkannya bereaksi dengan antibodi disebut antigenisitas. Kesanggupan molekul antigen untuk menginduksi respon imun disebut imunogenitas.
Kespesifikan reaksi antara antigen dan antibodi telah ditunjukkan melalui penelitian-penelitian yang dilakukan oleh Landsteiner. Ia menggabungkan radikal-radikal organik kepada protein dan menghasilkan antibodi terhadap antigen-antigen tersebut. Keputusan yang diperolehi menunjukkan antibodi dapat membedakan antara kelompok berbeda pada protein ataupun kumpulan kimia yang sama tetapi berbeda kedudukan. Ikatan yang terjadi terdiri dari ikatan non kovalen (seperti ikatan hidrogen, van der Waals, elektrostatik, hidrofobik), sehingga reaksi ini dapat kembali ke semula (reversible). Kekuatan ikatan ini bergantung kepada jarak antara paratop dan bagian-bagian tertentu pada epitop.
Terdapat berbagai kategori Interaksi antigen-antibodi, kategori tersebut antara lain:
1. Primer
Interaksi tingkat primer adalah saat kejadian awal terikatnya antigen dengan antibodi pada situs identik yang kecil, bernama epitop.
2. Sekunder
Interaksi tingkat sekunder terdiri atas beberapa jenis interaksi, di antaranya:
a. Netralisasi
Adalah jika antibodi secara fisik dapat menghalangi sebagian antigen menimbulkan effect yang merugikan. Contohnya adalah dengan mengikat toksin bakteri, antibody mencegah zat kimia ini berinteraksi dengan sel yang rentan.
b. Aglutinasi
Adalah jika sel-sel asing yang masuk, misalnya bakteri atau transfusi darah yang tidak cocok berikatan bersama-sama membentuk gumpalan
c. Presipitasi
Adalah jika komplek antigen-antibodi yang terbentuk berukuran terlalu besar, sehingga tidak dapat bertahan untuk terus berada di larutan dan akhirnya mengendap.
d. Fagositosis
Adalah jika bagian ekor antibodi yang berikatan dengan antigen mampu mengikat reseptor fagosit (sel penghancur) sehingga memudahkan fagositosis korban yang mengandung antigen tersebut.
e. Sitotoksis
Adalah saat pengikatan antibodi ke antigen juga menginduksi serangan sel pembawa antigen oleh killer cell (sel K). Sel K serupa dengan natural killer cell kecuali bahwa sel K mensyaratkan sel sasaran dilapisi oleh antibodi sebelum dapat dihancurkan melalui proses lisis membran plasmanya.
3. Tersier
Interaksi tingkat tersier adalah munculnya tanda-tanda biologik dari interaksi antigen-antibodi yang dapat berguna atau merusak bagi penderitanya. Pengaruh menguntungkan antara lain: aglutinasi bakteri, lisis bakteri, immnunitas mikroba,dan lain-lain. Sedangkan pengaruh merusak antara lain: edema, reaksi sitolitik berat, dan defisiensi yang menyebabkan kerentanan terhadap infeksi.
a. Hidrat arang (polisakarida)
Hidrat arang pada umumnya imunogenik.
b. Lipid
Lipid biasanya tidak imunogenik kecuali bila diikat protein pembawa.
c. Asam nukleat
Asam nukleat tidak imunogenik, tetapi dapat menjadi imunogenik bila diikat protein molekul pembawa.
d. Protein
Kebanyakan protein adalah imunogenik dan pada umumnya multideterminan dan univalent.
E. Sifat-Sifat Antigen
Antigen memiliki beberapa sifat-sifat yang khas pada antigen tersebut, sifat-sifat tersebut antaralain:
1. Keasingan
Kebutuhan utama dan pertama suatu molekul untuk memenuhi syarat sebagai imunogen adalah bahwa zat tersebut secara genetik asing terhadap hospes.
2. Sifat-sifat Fisik
Agar suatu zat dapat menjadi imunogen, ia harus mempunyai ukuran minimum tertentu, imunogen yang mempunyai berat molekul yang kecil, respon terhadap hospes minimal, dan fungsi zat tersebut sebagai hapten sesudah bergabung dengan proten-proten jaringan.
3. Kompleksitas
Faktor-faktor yang mempengaruhi kompleksitas imunogen meliputi baik sifat fisik maupun kimia molekul.
4. Bentuk-bentuk (Conformation)
Tidak adanya bentuk dari molekul tertentu yang imunogen. Polipeptid linear atau bercabang, karbohidrat linear atau bercabang, serta protein globular, semuanya mampu merangsang terjadinya respon imun.
5. Muatan (charge)
Imunogenitas tidak terbatas pada molekuler tertentu; tidak terbatas pada molekuler tertentu, zat-zat yang bermuatan positif, negatif, dan netral dapat imunogen. Namun demikian imunogen tanpa muatan akan memunculkan antibodi yang tanpa kekuatan.
6. Kemampuan masuk
Kemampuan masuk suatu kelompok determinan pada sistem pengenalan akan menentukan hasil respon imun.
F. Reaksi Antigen dan Antibodi
Dalam lingkungan sekitar kita terdapat banyak substansi bermolekul kecil yang bisa masuk ke dalam tubuh. Substansi kecil tersebut bisa menjadi antigen bila dia melekat pada protein tubuh kita. Substansi kecil yang bisa berubah menjadi antigen tersebut dikenal dengan istilah hapten. Substansi-substansi tersebut lolos dari barier respon non spesifik (eksternal maupun internal), kemudian substansi tersebut masuk dan berikatan dengan sel limfosit B yang akan mensintesis pembentukan antibodi.
Sebelum pertemuan pertamanya dengan sebuah antigen, sel-sel-B menghasilkan molekul immunoglobulin IgM dan IgD yang tergabung pada membran plasma untuk berfungsi sebagai reseptor antigen. Jumlahnya mencapai 50.000 sampai 100.000 per sel dan semuanya spesifik bagi satu determinan antigen. Sebuah antigen merangsang sel untuk membuat dan menyisipkan dalam membrannya molekul immunoglobulin yang memiliki daerah pengenalan spesifik untuk antigen itu. Setelah itu, limfosit harus membentuk immunoglobulin untuk antigen yang sama. Pemaparan kedua kali terhadap antigen yang sama memicu respon imun sekunder yang segera terjadi dan meningkatkan titer antibodi yang beredar sebanyak 10 sampai 100 kali kadar sebelumnya. Sifat molekul antigen yang memungkinkannya bereaksi dengan antibodi disebut antigenisitas. Kesanggupan molekul antigen untuk menginduksi respon imun disebut imunogenitas.
Kespesifikan reaksi antara antigen dan antibodi telah ditunjukkan melalui penelitian-penelitian yang dilakukan oleh Landsteiner. Ia menggabungkan radikal-radikal organik kepada protein dan menghasilkan antibodi terhadap antigen-antigen tersebut. Keputusan yang diperolehi menunjukkan antibodi dapat membedakan antara kelompok berbeda pada protein ataupun kumpulan kimia yang sama tetapi berbeda kedudukan. Ikatan yang terjadi terdiri dari ikatan non kovalen (seperti ikatan hidrogen, van der Waals, elektrostatik, hidrofobik), sehingga reaksi ini dapat kembali ke semula (reversible). Kekuatan ikatan ini bergantung kepada jarak antara paratop dan bagian-bagian tertentu pada epitop.
Terdapat berbagai kategori Interaksi antigen-antibodi, kategori tersebut antara lain:
1. Primer
Interaksi tingkat primer adalah saat kejadian awal terikatnya antigen dengan antibodi pada situs identik yang kecil, bernama epitop.
2. Sekunder
Interaksi tingkat sekunder terdiri atas beberapa jenis interaksi, di antaranya:
a. Netralisasi
Adalah jika antibodi secara fisik dapat menghalangi sebagian antigen menimbulkan effect yang merugikan. Contohnya adalah dengan mengikat toksin bakteri, antibody mencegah zat kimia ini berinteraksi dengan sel yang rentan.
b. Aglutinasi
Adalah jika sel-sel asing yang masuk, misalnya bakteri atau transfusi darah yang tidak cocok berikatan bersama-sama membentuk gumpalan
c. Presipitasi
Adalah jika komplek antigen-antibodi yang terbentuk berukuran terlalu besar, sehingga tidak dapat bertahan untuk terus berada di larutan dan akhirnya mengendap.
d. Fagositosis
Adalah jika bagian ekor antibodi yang berikatan dengan antigen mampu mengikat reseptor fagosit (sel penghancur) sehingga memudahkan fagositosis korban yang mengandung antigen tersebut.
e. Sitotoksis
Adalah saat pengikatan antibodi ke antigen juga menginduksi serangan sel pembawa antigen oleh killer cell (sel K). Sel K serupa dengan natural killer cell kecuali bahwa sel K mensyaratkan sel sasaran dilapisi oleh antibodi sebelum dapat dihancurkan melalui proses lisis membran plasmanya.
3. Tersier
Interaksi tingkat tersier adalah munculnya tanda-tanda biologik dari interaksi antigen-antibodi yang dapat berguna atau merusak bagi penderitanya. Pengaruh menguntungkan antara lain: aglutinasi bakteri, lisis bakteri, immnunitas mikroba,dan lain-lain. Sedangkan pengaruh merusak antara lain: edema, reaksi sitolitik berat, dan defisiensi yang menyebabkan kerentanan terhadap infeksi.
Daftar Pustaka
Baratawidjaja, 2006, Imunologi
Dasar, Edisi ke-7, Penerbit FKUII, Jakarta.
Bloom, 2002, Buku Ajar Histologi,
Edisi 12, diterjemahkan oleh Jan Tambayong, Penerbit Buku Kedokteran EGC,
Jakarta.
Sudiana, 2005, Konsep Dasar
Imunologi, Universitas Airlangga, Surabaya available at
http://www.ners.unair.ac.id/materikuliah/DASAR%20IMUNOLOGI.pdf (diakses Oktober
2009).
Options
Disable
Mawarputrijulica's Blog it's all about my journey to be a dentist
2 Okt
INTRODUKSI IMMUNOBIOLOGI
INTRODUKSI
IMUNOBIOLOGI
MAWAR
PUTRI JULICA
07/ 250270/ KG/
08134
Laboratorium
Biologi Mulut, Fakultas Kedokteran Gigi, Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta
Reaksi antigen-antibodi dapat di deteksi dengan reaksi
sekunder untuk memvisualisasikan reaksi misalkan presipitasi maupun aglutinasi.
Klasifikasi antigen salah satunya bersumber dari alogeneik dengan jenis
alloantigen salah satu contohnya adalah golongan darah. Dua jenis penggolongan
darah yang paling penting adalah penggolongan ABO dan Rhesus (faktor Rh).
Membran sel darah merah pada sebagian besar individu mengandung suatu substansi
golongan darah tipe A, tipe B, tipe AB, tipe O. Penggolongan sistem ABO
didasarkan pada ada atau tidaknya aglutinasi antara antigen-antibodi yang
terdapat dalam darah, sedangkan penggolongan Rh berdasarkan ada atau
tidaknya antigen D. Jika seseorang dengan Rh negatif (tidak mempunyai antigen
D) terpajan dengan darah Rh positif (mempunyai antigen D), maka tubuh akan
membentuk anti-Rh sehingga menyebabkan aglutinasi.Untuk melihat adanya aglutinasi, tes yang dilakukan adalah mereaksikan darah sebagai antigen dan larutan anti sera( Anti-A, Anti-B, Anti-C, dan Anti-D). Aglutinasi dapat menunjukkan golongan darah. Sedangkan pada penghitungan jenis leukosit sample darah dibuat sediaan tipis lalu dicat dengan Giemsa 3%. Kemudian sediaan diamati dibawah mikroskop, dilakukan perhitungan macam jenis leukosit per 100 sel leukosit sepanjang sediaan apus. Hasil penghitungan dilaporkan dalam bentuk persen.
Kedua percobaan tersebut dilakukan pada tiga orang probandus dengan hasil :
- Probandus I : golongan darah O, Rh positif, basofil 0%, eosinofil 0%, netrofil 0%, limfosit 75%, monosit 18%
- Probandus II: golongan darah O, Rh positif, basofil 2,4%, eosinofil 14,8%, netrofil 54,3%, limfosit 8,6%, monosit 7,4 %
- Probandus III: golongan darah O, Rh positif, basofil 10,1%, eosinofil 10,1%, netrofil 43,4%, limfosit 30,4%, monosit 5,7 %
Kata kunci : aglutinasi, hitung diferensial leukosit, antigen, antibody
PENDAHULUAN
Dalam pengertian paling luas , immunologi mengacu pada semua mekanisme pertahanan yang dapat di mobilisasi oleh tubuh untuk memerangi ancaman invasi asing. Respon imun itu hampir seluruhnya diperantarai oleh limfosit B dan limfosit T. Saat terjadi respon imun terhadap benda asing, limfosit B terutama terlibat dalam menghasilkan protein-protein globular yang disebut Antibodi.(Fried, G.H and Fried, G.J., 2006). Imunigenisitas dapat di definisikan sebagai sesuatu zat (immunogen) yang memberikan zat tersebut kemampuan membangkitkan respon imun spesifik baik antibody maupun imunitas seluler. Bagian dari struktur tiga dimensi tiap imunogen mengandung kelompok permukaan misalnya asam amino dalam suatu protein globularatau sisi rantai sakarida yang menonjol pada polisakarida. Struktur ini diberi nama determinan antigenic atau epitop dan menyajikan daerah aktif terpapar, dengan mana antibody menyatu .(Bellanti & Jackson, 1993)
Jika terdapat suatu agen asing yang dapat dikenali oleh system imunitas, maka hal ini dapat memicu produksi molekul protein khusus yang secara umum disebut antibodi. Antibodi sendiri merupakan senjata utama respon humoral. Reseptor sel T yang akan mengenali agensia asing tersebut secara spesifik dan mengikatnya. Molekul yang dapat dikenali dan diikat oleh reseptor sel T yang disebut antigen (antibody generating surface).(Yuwono,2008)
Interaksi antigen-antibodi dapat dibagi dalam 3 kategori: (1)primer, (2) sekunder,(3) tersier. Interaksi primer atau interaksi awal antigen dengan antibody adalah suatu kejadian dasar yang terdiri dari pengikatan molekul antigen dengan antibody. deteksi biasanya dikerjakan dengan reaksi sekunder, yang merupakan alat bantu untuk memvisualisasikan reaksi, misalnya presipitasi. Reaksi tersier merupakan ekspresi biologik dari interaksi antigen-antibodi yang dapat berguna untuk merusak. Pada Aglutinasi, fase pertama penyatuan antigen-antibodi terjadi seperti pada presipitasi dan tergantung pada kekuatan ion, pH dan suhu. Pada aglutinasi sel darah merah, misalnya dimana reseptor antigenik mungkin terletak pada cekungan yang dalam pada permukaan sel, antibody diikat kuat pada sisi reseptor pada satu sel. (Bellanti, 1993)
Ketika transfusi darah dari orang ke orang, transfusi hanya berhasil baik pada beberapa keadaan. Seringkali timbul aglutinasi dan hemolisis sel darah merah bahkan dapat juga menyebabkan kematian. Ternyata hal itu dikarenakan darah dari orang yang berbeda biasanya mempunyai sifat antigen dan imunitas yang berbeda, sehingga antibodi dalam plasma darah seseorang akan bereaksi dengan antigen pada permukaan sel darah merah orang lain. Karl Landsteiner menggolongkan darah manusia menjadi A, B, AB, dan O. Metode klasifikasi berdasarkan jenis antigen dan antibodi yang terkandung dalam darahnya. Jenis penggolongan darah lain adalah dengan memanfaatkan faktor Rhesus atau faktor Rh.
Tubuh kita ini mempunyai sistem pertahanan tubuh yang bekerja melalui dua cara. Pertama adalah merusak benda asing yang menyerbu (antigen) dengan cara fagositosis. Kedua, menon-aktifkan benda asing tadi dengan membentuk antibodi spesifik. Proses yang kedua ini telah dicontohkan pada kasus golongan darah yang telah dijelaskan sebelumnya. Sedang untuk proses fagositosis sendiri dilakukan oleh leukosit Ada enam macam sel darah putih yang secara normal ditemukan dalam darah. Netrofil polimorfonuclear, eosinofil polimorfonuclear, basofil polimorfonuclear, merupakan sel-sel yang polimorfonuclear (berinti >1) dan mempunyai gambaran granular, maka disebut sel granulosit. Fungsi utama limfosit dan sel plasma adalah berhubungan dengan sistem imun seseorang. Sel-sel darah putih manusia normalnya berkisar antara 4.000 – 11.000 sel per mikroliter darah . Rentang normal elemen seluler pada darah manusia dapat dilihat pada tabel di bawah ini:
Sel/
mL (rata-rata)
|
Rentang
normal
|
Presentase
WBC
|
|
Total WBC
|
9.000
|
4000 – 11.000
|
…
|
Granulocytes
Neutrophils |
5.400
|
3.000 – 6.000
|
50 – 70
|
Eosinophils
|
275
|
150 – 300
|
1 – 4
|
Basophils
|
35
|
0 – 100
|
0,4
|
Lymphocytes
|
2.750
|
1.500 – 4.000
|
20 – 40
|
Monocytes
|
540
|
300 – 600
|
2 – 8
|
Erythrocytes
|
4,8 – 5,4 X 106
|
…
|
…
|
Platelets
|
300.000
|
200.000 – 500.000
|
…
|
Tujuan dari praktikum ini adalah agar mahasiswa mampu melakukan tes aglutinasi terhadap pemeriksaan golongan darah dan menjelaskan hasilnya, memahami dan mempelajari prosedur pembuatan sediaan sampel darah dengan metode oles (smear methods), serta mengenal beberapa istilah dalam bidang imunobiologi.
BAHAN
DAN CARA
v Pemeriksaan Golongan
Darah ABO dan RhA. Alat dan Bahan
1. Gelas obyek
2. Satu set larutan anti sera
a. Serum anti-A, warna biru
b. Serum anti-B, warna kuning
c. Serum anti-AB, tidak berwarna
d. Serum anti-D berisi IgG dan IgM, tidak berwarna
B. Cara Kerja
1.Menyiapkan gelas obyek dan menandainya dengan empat buah tanda yaitu daerah A, B, AB,dan D.
2.Pada tiap tanda diteteskan darah dari probandus masing-masing satu tetes. Berturut-turut serum anti-A, anti-B, anti-AB, dan anti-D diteteskan pada setiap tetes darah yang ada di atas gelas obyek sesuai dengan tanda yang tertera.
3.Tiap campuran tetes darah dan tetes serum diaduk dengan ujung gelas obyek yang lain.
Identifikasi dan Kuantitatif Sel Leukosit
- Alat dan Bahan
2.Gelas obyek
3.Aquades
4.Methyl-alkohol
5. Cat Giemsa 3%
6. Mikroskop cahaya
7.Hand tally counter
8.Minyak imersi
9.Lancet
10.Kapas Alkohol
- Cara Kerja
1. Menyiapkan dua buah gelas obyek, A dan B.
2. Meneteskan darah pada sisi kanan gelas obyek A.
3. Menarik gelas obyek B sedikit ke belakang sehingga tetesan darah dari gelas obyek A tersentuh dan terjadi gaya kapilaritas, sehingga darah tersebar sepanjang sisi gelas obyek B. Antara gelas obyek A dan B dibentuk sudut kira-kira 25o-45o.
4. Mendorong gelas obyek B ke sisi kiri gelas obyek A dengan mantap dan cepat sehingga terjadi film darah yang tipis. Melakukan pengecatan satu jam setelah pembuatan.
v Pengecatan
1. Melakukan fiksasi dengan mencelupkan sediaan dalam wadah yang berisi methyl-alkohol selama 3-4 menit kemudian mengeringkannya dalam suhu ruang.
2. Menetesi seluruh permukaan sediaan oles dengan cat Giemsa 3% selama 30-40 menit.
3. Kemudian mencuci sediaan yang telah dicat tersebut dengan aquades dingin dan mengeringkannya pada suhu ruang.
v Cara Pemeriksaan
Sediaan diamati mulai dari daerah kepala hingga ekor dengan mikroskop pada perbesaran obyektif 10 kali. Bagian yang diamati adalah bagian yang eritrositnya tidak saling menumpuk. Setelah itu meneteskan minyak imersi dan mengamati dengan perbesaran mikroskop 100 kali. Menghitung masing-masing jenis leukosit per 100 sel leukosit, hasil dilaporkan dalam persen.
HASIL
PENGAMATAN
Pemeriksaan Golongan Darah ABO dan Rh, serta Identifikasi
dan Kuantitatif Sel Leukosit masing-masing dilakukan terhadap tiga orang
probandus. Dari ketiga percobaan tersebut didapatkan hasil sebagai berikut:Tabel hasil pemeriksaan golongan darah ABO dan Rh
Aglutinasi
Terjadi Pada
|
Penilaian
Golongan Darah
|
Aglutinasi
Terjadi Pada
|
Penilaian
|
|||
Anti-A
|
Anti-B
|
Anti-AB
|
Anti-D
|
Rh
|
||
Probandus
1
|
-
|
-
|
-
|
O
|
+
|
Positif
|
Probandus
2
|
-
|
-
|
-
|
O
|
+
|
Positif
|
Probandus
3
|
-
|
-
|
-
|
O
|
+
|
Positif
|
v Identifikasi leukosit
Macam
Sel
|
Probandus
1
|
Probandus
2
|
Probandus
3
|
Basofil
|
0%
|
24%
|
10,1%
|
Eosinofil
|
0%
|
14,8%
|
10,1%
|
Netrofil
|
6%
|
54,3%
|
43,4%
|
Limfosit
|
75%
|
8,6%
|
30,4%
|
Monosit
|
18%
|
7,4%
|
5,7 %
|
*Perhitungan probandus 1 menggunakan perbesaran 1000x
*Probandus 2 dan 3 menggunakan perbesaran 400X
PEMBAHASAN
Kelompok antigen yang memiliki banyak arti klinis adalah
kelompok antigen yang dikenal sebagai antigen alogeneik, yaitu antigen yang
secara genetic diatur oleh determinan antigenic yang membedakan satu individu
spesies tertentu dari individu lain pada spesies yang sama. Pada manusia
determinan antigenic semacam ini terdapat pada sel darah merah, contoh
alloantigen: ABO, RHo, golongan darah(disebut isoantigen), memiliki fungsi
klinik untuk penyakit hemofilik pada neonatus dan reaksi transfusi.(Bellanti
& Jackson, 1993)Penggolongan darah sistem ABO yang kita kenal ditentukan berdasarkan ada atau tidaknya aglutinogen A dan B.Aglutinogen merupakan antigen, disebut juga aglutinogen karena dia mampu menyebabkan reaksi aglutinasi sel darah. Bila tidak terdapat aglutinogen tipe A dalam sel darah merah seseorang, maka dalam plasmanya akan terbentuk antibodi yang dikenal sebagai aglutinin anti-A. Demikian pula, bila tidak terdapat aglutinogen tipe-B di dalam sel darah merah, maka dalam plasmanya terbentuk antibodi yang dikenal sebagai aglutinin anti-B. Golongan darah O, meskipun tidak mengandung aglutinogen, tetapi mengandung agglutinin anti-A dan anti-B. Golongan darah A mengandung aglutinogen tipe-A dan aglutinin anti-B, sedangkan golongan darah B mengandung aglutinogen tipe-B dan aglutinin anti-A. Golongan darah AB mengandung kedua aglutinogen A dan B, tetapi tidak mengandung aglutinin sama sekali.
Golongan
Darah
|
Aglutinogen
|
Aglutinin
|
O
|
-
|
Anti-A dan Anti-B
|
A
|
A
|
Anti-B
|
B
|
B
|
Anti-A
|
AB
|
A dan B
|
-
|
Pemeriksaan Golongan Darah ABO dan Rh pada percobaan kali ini menggunakan sampel darah yang dicampur aglutinin anti-A dan aglutinin anti-B, kemudian diamati sel darah merah yang “teraglutinasi” untuk mengetahui adanya reaksi antibodi-antigen. Dari ketiga probandus, semuanya bergolongan darah O karena saat ditetesi serum anti-A dan anti-B tidak terjadi reaksi aglutinasi. Jika individu memiliki aglutinin Anti-A dan Anti-B ditetesi dengan serum yang sama, maka tidak terjadi ikatan antigen-antibodi yang secara makroskopis dapat diamati dengan reaksi aglutinasi. (Guyton & Hall, 2007)
Bila darah yang tidak cocok dicampur sehingga aglutinin plasma anti-A atau anti-B dicampur dengan sel darah merah yang mengandung aglutinogen A atau B, terjadilah aglutinasi sel darah merah. Terdapat dua tahapan aglutinasi, yang pertama adalah perlekatan molekul antibodi dengan antigen yang tidak terlarut, kedua terjadi pembentukan pola-pola geometris (Sheehan, 1997). Menurut Guyton & Hall (2007), proses aglutinasi diawali oleh aglutinin bivalen atau polivalen yang akan melekatkan diri pada sel darah merah. Karena aglutinin mempunyai dua tempat pengikatan (tipe IgG) atau 10 tempat pengikatan (IgM), maka satu aglutinin dapat melekatkan diri pada dua atau lebih sel darah merah yang berbeda pada waktu yang sama, dengan demikian menyebabkan sel saling mendekat satu sama lain. Keadaan ini menyebabkan sel-sel menggumpal bersama-sama (aglutinasi). Kemudian gumpalan ini menyumbat pembuluh darah kecil di seluruh sistem sirkulasi, dan pada akhirnya terjadi hemolisis sel darah merah.
Seperti yang kita ketahui, karena orang bergolongan darah O tidak mempunyai antigen A dan B, maka dia bisa mendonorkan darahnya kepada resipien lain yang tidak sama golongan darahnya. Itulah sebabnya golongan darah O disebut donor universal. Namun donor darah terkadang juga memberikan efek tertentu, salah satunya adalah menekan fungsi imunitas seseorang sehingga dapat meningkatkan kerentanan seseorang terhadap infeksi, tetapi hal ini tidak terjadi secara tetap. Pada tahun 1997, Eaves-Pyles & Alexander mengemukakan bahwa kemampuan dari tranfusi darah untuk meningkatkan kemampuan bakteri untuk menginfeksi bergantung pada faktor genetik seseorang.
Pada hasil uji rhesus, didapatkan hasil bahwa ketiga probandus memiliki rhesus positif ,namun pada probandus ke 2 dibutuhkan dua kali pengetesan untuk anti D baru didapatkan hasil positif, hal ini dimungkinkan karena kesalahan praktikan pada saat pemberian jumlah tetesan anti D pada pengetesan pertama. Seseorang yang mempunyai rhesus positif berarti dia memiliki antigen D, sedangkan seseorang yang tidak memiliki antigen D dikatakan sebagai rhesus negatif. Penyakit yang sering berhubungan dengan rhesus adalah penyakit hemolitik pada janin dan bayi baru lahir, pertama kali dijelaskan pada 1609 dalam rangkaian bayi kembar: bayi pertama adalah hidropik dan lahir mati, dan bayi kedua sangat kuning dan kemudian meninggal yang sekarang kita sebut kernicterus. Pada1932, ditemukan bahwa hydrops dan kernicterus adalah dua aspek dari penyakit yang sama di mana hemolisis sel darah merah janin dan neonatus mengakibatkan extramedullary erythropoiesis, hepatosplenomegali dan pencurahan erythroblasts ke dalam sirkulasi, suatu kondisi yang disebut erythroblastosis fetalis. Kernicterus selanjutnya terbukti karena pengendapan bilirubin dalam otak. (Bowman, 1998). Hemolytic disease pada fetus muncul pada bayi dengan RhD yang positif yang dibawa oleh ibu dengan RhD negatif yang telah diimunisasi sel darah merah dengan RhD positif melalui transplacental barrier selama periode kehamilan. Antibodi IgG maternal hingga RhD melewati placenta, melapisi dan menghancurkan sel darah merah RhD positif janin.(Lo YMD, et al., 1998). Kasus inkompabilitas RhD tidak hanya membahayakan bayi tetapi juga orang dewasa, khususnya saat melakukan transfusi darah. Orang dengan RhD negatif lebih berisiko karena ketika mereka menerima darah dari orang dengan rhesus positif, antibodinya akan menyerang sel darah merah yang baru masuk tadi. Hal ini dapat menyebabkan aglutinasi dan bahkan kematian. (Anitei, 2008)
Pembahasan selanjutnya mengenai sel darah putih yang merupakan salah satu komponen sistem pertahanan tubuh kita. Leukosit terdiri atas sel fagosit dan sel imunosit. Yang termasuk sel fagosit adalah neutrofil (PMN), eosinofil, basofil, dan monosit. Sedangkan limfosit dan sel plasma termasuk sel imunosit. Pada keadaan normal, perbandingan persentase komponen leukosit adalah : netrofil 62%, eosinofil 2,3%, basofil 0,4%, monosit 5,3%, limfosit 30%. Persentase netrofil akan mengalami peningkatan saat terjadi infeksi bakteri, eosinofil meningkat pada reaksi alergi dan infeksi parasit, sedangkan basofil akan meningkat jumlahnya pada kondisi inflamasi jaringan.( Bregman, 1996).
Penghitungan diferensial leukosit ternyata memberi makna klinis yang signifikan terhadap beberapa kelainan di dalam tubuh. Leukosit memiliki peranan sebagai pertahanan tubuh terhadap berbagai agen toksik dan infeksi. Mekanismenya antara lain dengan menghancurkan agen invasif melalui proses fagositosis dan membentuk antibodi dan limfosit yang disensitifkan. Kenaikan titer salah satu atau beberapa jenis leukosit ternyata memberikan indikasi penyakit tertentu, misalnya apendisitis, terjadi kenaikan leukosit dan netrofil yang cukup signifikan dan berperan dalam proses inflamasi. Bahkan derajat inflamasi apendisitis dapat diketahui dengan jumlah leukosit dan netrofil PMN pasien. (Horng-Ren Yang, et al, 2006). Berbagai keadaan-keadaan yang menyebabkan peningkatan dan penurunan jumlah sel leukosit.
- Neutrofil leukositosis
- Neutropenia
(Hoffbrand &
Pettit, 1998)
Pada percobaan Identifikasi dan Kuantitatif Sel Leukosit
dilakukan penghitungan jenis leukosit per 100 sel leukosit, dan hasilnya diubah
dalam persen. Penghitungan pada sampel darah probandus 1 dengan menggunakan
perbesaran 1000X didapatkan hasil sebagai berikut : basofil 0%, eosinofil 0%,
netrofil 0%, limfosit 75%, monosit 18%. Selanjutnya Probandus II menggunakan
perbesaran 400x didapat hasil: basofil 2,4%, eosinofil 14,8%, netrofil 54,3%,
limfosit 8,6%, monosit 7,4 %, sedangkan pada probandus III didapat hasil:
basofil 10,1%, eosinofil 10,1%, netrofil 43,4%, limfosit 30,4%, monosit 5,7 %.
Jumlah eosinofil, basofil dan monosit relatif sedikit pada persentase.
Mengingat fungsi utama netrofil adalah fagositosis, sehingga kenaikan netrofil
menjadi dalah satu indikator proses inflamasi (peradangan) dan infeksi.
Leukosit ini juga memberi respon fagositik dan berperan pada proses peradangan.
Secara klinis, eosinofilia terjadi terutama jika terjadi reaksi alergi dan
infeksi cacing, sedangkan basofil berperan dengan sel mast dalam melepaskan
heparin ke dalam darah sehingga mencegah koagulasi darah.Hasil yang didapatkan berbeda dengan standar teori yang ada. Kesalahan ini selain disebabkan karena kesalahan pada saat mengidentifikasi, juga dapat dikarenakan terjadinya penghitungan ulang pada wilayah yang sama pada saat mengamati dengan mikroskop. Penggunaan perbesaran mikroskop yang berbeda dalam perhitungan juga bisa menjadi salah satu pemicu perbedaan hasil. Kesalahan lain bisa disebabkan pada saat pembuatan preparat apus, dimana sampel darah yang digunakan terlalu tebal ataupun terlalu tipis sehingga tidak terlihat pada saat pengamatan dengan mikroskop. Kemungkinan terakhir yakni tubuh probandus benar-benar sedang dalam keadaan patologis
KESIMPULAN
Aglutinasi yang terjadi pada pemeriksaan golongan darah
menunjukkan adanya interaksi antara antigen-antibodi yang sejenis. Penghitungan
diferensial jumlah relatif leukosit berfungsi untuk mengetahui kondisi-kondisi
patologis yang secara klinis dapat diketahui dengan pemeriksaan laboratorium.Klasifikasi antibodi
Klasifikasi
antibodi
(Drh. Darmono MSc).
Interaksi antigen dengan antibodi bersifat non-covalen dan pada umumnya sangat spesifik. Antibodi hanya diproduksi oleh limfosit B dan disebarkan keseluruh tubuh secara eksositosis dalam bentuk plasma dan cairan sekresi. Mereka membentuk sel B antigen reseptor yang spesifik. Antibodi ditemukan dalam plasma juga berikatan dengan reseptor spesifik untuk daerah konstan (Fc) dari imunoglobulin. Mereka juga ditemukan dalam cairan sekresi seperti mukus, susu dan keringat.
Pada dasarnya satu unit struktur antibodi pada mamalia adalah glikoprotein (berat molekul sekitar 150.000 dalton) yang terdiri dari empat rantai polipeptida. Semua antibodi mempunyai bentuk struktur yang sama yaitu dua rantai pendek (VL) dan dua rantai panjang (VH). Bentuk tersebut dihubungkan dengan bentuk kovalen (disulfida) dan erat hubungannya dengan sequens asam amino yang mempunyai struktur sekunder dan tertier.
Setiap rantai pendek (VL) berat molekulnya sekitar 25.000 dalton, dimana ada dua jenis rantai pendek yaitu lambda (λ) atau kappa (κ). Pada manusia terdiri dari 60% adalah kappa dan 40% lambda, sedangkan pada mencit 95% kappa dan 5% lambda. Satu molekul antibodi hanya mengandung lambda saja atau kappa saja dan tidak pernah keduanya.
Setiap rantai panjang (VH) mempunyai berat molekul sekitar 50.000 dalton, yang terdiri dari daerah variabel (V) dan konstan ©. Rantai panjang (VH) dan rantai pendek (VL) terdiri dari sejumlah homolog yang mengandung kelompok sequence asam amino yang mirip tetapi tidak identik. Unit-unit homolog tersebut terdiri dari 110 asam amino yang disebut domain imunoglobulin. Rantai panjang mengandung satu domain variabel (VH) dan tiga dari empat domain konstan lainnya (CH1, CH2, CH3, CH4, bergantung pada klas dan isotipe antibodi). Daerah antara CH1 dan CH2 disebut daerah hinge (engsel), yang memudahkan pergerakan / fleksibilitas dari lengan Fab dari bentuk Y molekul anti bodi tersebut. Hal itu menyebabkan lengan tersebut dapat membuka atau menutup untuk dapat mengikat dua antigen determinan yang terpisahkan oleh jarak diantar kedua lengan tersebut.
Rantai panjang juga dapat meningkatkan fungsi aktifitas dari molekul antibodi. Ada 5 klas antibodi yaitu: IgG, IgA, IgM, IgE dan IgD, yang dibedakan menurut jenis rantai panjangnya masing-masing yaitu: γ, α, μ, ε dan δ. Klas antibodi IgD, IgE dan IgG terbentuk dari struktur tunggal, sedangkan IgA mengandung dua atau tiga unit dan IgM terdiri dari 5 yang dihubungkan dengan sambungan disulfida. Antibodi IgG dibagi menjadi 4 subklas (disebut juga isotipe) yaitu IgG1, IgG2, IgG3, dan IgG4.
Struktur dan fungsi IgG dapat dipecah oleh enzim pepsin dan papain menjadi beberapa fragmen yang mempunyai sifat biologi yang khas. Perlakuan dengan pepsin dapat memisahkan Fab2 dari daerah persambungan hinge (engsel). Karena Fab2 adalah merupakan molekul bivalen sehingga ia dapat mempresipitasi antigen. Enzim papain dapat memutus daerah hinge diantara CH1 dan CH2 untuk membentuk dua fragmen yang identik dan dapat bertahan dengan reaksi antigen-antibodi dan juga satu non-antigen-antibodi fragmen yaitu daerah fragmen kristalisabel (Fc). Bagian Fc ini adalah glikosilat yang mempunyai banyak fungsi efektor (yaitu: binding komplemen, binding dengan sel reseptor pada makrofag dan monosit dan sebagainya) dan dapat digunakan untuk membedakan satu klas antibodi dengan lainnya.
Imunoglobulin A (IgA).
Imunoglobulin A adalah antibodi sekretori, ditemukan dalam saliva, keringat, air mata, cairan mukosa, susu, cairan lambung dan sebgainya. Yang aktiv adalah bentuk dimer (yy), sedangkan yang monomer (y) tidak aktif. Jaringan yang mensekresi bentuk bentuk dimer ini ialah sel epithel yang bertindak sebagai reseptor IgA, yang kemudian sel tersebut bersama IgA masuk kedalam lumen. Fungsi dari IgA ini ialah:
- Mencegah kuman patogen menyerang permukaan sel mukosa
- Tidak efektif dlam mengikat komplemen
- Bersifat bakterisida dengan kondisinya sebagai lysozim yang ada dalam cairan sekretori yang mengandung IgA
- Bersifat antiviral dan glutinin yang efektif
Imunoglobulin D (IgD)
Imunoglobulin D ini berjumlah sedikit dalam serum. IgD adalah penenda permukaan pada sel B yang matang. IgD dibentuk bersama dengan IgM oleh sel B normal. Sel B membentuk IgD dan IgM karena untuk membedakan unit dari RNA.
Imunoglobulin E (IgE)
Imunoglobulin E ditemukan sedikit dalam serum, terutama kalau berikatan dengan mast sel dan basophil secara efektif, tetapi kurang efektif dengan eosinpphil. IgE berikatan pada reseptor Fc pada sel-sel tersebut. Dengan adanya antigen yang spesifik untuk IgE, imunoglobulin ini menjadi bereaksi silang untuk memacu degranulasi dan membebaskan histamin dan komponen lainnya sehingga menyebabkan reaksi anaphylaksis. IgE sangat berguna untuk melawan parasit.
Imunoglobulin M (IgM)
Imunoglobulin m ditemukan pada permukaan sel B yang matang. IgM mempunyai waktu paroh biologi 5 hari, mempunyai bentuk pentamer dengan lima valensi. Imunoglobulin ini hanya dibentuk oleh faetus. Peningkatan jumlah IgM mencerminkan adanya infeksi baru atai adanya antigen (imunisasi/vaksinasi). IgM adalah merupakan aglutinin yang efisien dan merupakan isohem- aglutinin alamiah. IgM sngat efisien dalam mengaktifkan komplemen. IgM dibentuk setelah terbentuk T-independen antigen, dan setelah imunisasi dengan T-dependent antigen.
Imunoglobulin G (IgG)
Imunoglobulin G adalah divalen antigen. Antibodi ini adalah imunoglobulin yang paling sering/banyak ditemukan dalam sumsum tulang belakang, darah, lymfe dan cairan peritoneal. Ia mempunyai waktu paroh biologik selama 23 hari dan merupakan imunitas yang baik (sebagai serum transfer). Ia dapat mengaglutinasi antigen yang tidak larut. IgG adalah satu-satunya imunoglobulin yang dapat melewati plasenta. Kemampuannya melewati plasenta untuk setiap jenis hewan berturut-turut adalah: Rodentia>primata>anjing/kucing> manusia=babi=kuda. IgG adalah opsonin yang baik sebagai pagosit pada ikatan IgG reseptor. Imunoglobulin ini merangsang “antigen-dependen cel-mediated cytotoxicity” (ADCC)-IgG Fab untuk mengikat target sel, “Natural Killer”(NK) Fc-reseptor, mengikat Ig Fc, dan sel NK membebaskan citotoksik pada sel target. IgFc juga mengaktifkan komplemen, menetralkan toksin, imobilisasi bakteri dan menghambat serangan virus.
(Drh. Darmono MSc).
Interaksi antigen dengan antibodi bersifat non-covalen dan pada umumnya sangat spesifik. Antibodi hanya diproduksi oleh limfosit B dan disebarkan keseluruh tubuh secara eksositosis dalam bentuk plasma dan cairan sekresi. Mereka membentuk sel B antigen reseptor yang spesifik. Antibodi ditemukan dalam plasma juga berikatan dengan reseptor spesifik untuk daerah konstan (Fc) dari imunoglobulin. Mereka juga ditemukan dalam cairan sekresi seperti mukus, susu dan keringat.
Pada dasarnya satu unit struktur antibodi pada mamalia adalah glikoprotein (berat molekul sekitar 150.000 dalton) yang terdiri dari empat rantai polipeptida. Semua antibodi mempunyai bentuk struktur yang sama yaitu dua rantai pendek (VL) dan dua rantai panjang (VH). Bentuk tersebut dihubungkan dengan bentuk kovalen (disulfida) dan erat hubungannya dengan sequens asam amino yang mempunyai struktur sekunder dan tertier.
Setiap rantai pendek (VL) berat molekulnya sekitar 25.000 dalton, dimana ada dua jenis rantai pendek yaitu lambda (λ) atau kappa (κ). Pada manusia terdiri dari 60% adalah kappa dan 40% lambda, sedangkan pada mencit 95% kappa dan 5% lambda. Satu molekul antibodi hanya mengandung lambda saja atau kappa saja dan tidak pernah keduanya.
Setiap rantai panjang (VH) mempunyai berat molekul sekitar 50.000 dalton, yang terdiri dari daerah variabel (V) dan konstan ©. Rantai panjang (VH) dan rantai pendek (VL) terdiri dari sejumlah homolog yang mengandung kelompok sequence asam amino yang mirip tetapi tidak identik. Unit-unit homolog tersebut terdiri dari 110 asam amino yang disebut domain imunoglobulin. Rantai panjang mengandung satu domain variabel (VH) dan tiga dari empat domain konstan lainnya (CH1, CH2, CH3, CH4, bergantung pada klas dan isotipe antibodi). Daerah antara CH1 dan CH2 disebut daerah hinge (engsel), yang memudahkan pergerakan / fleksibilitas dari lengan Fab dari bentuk Y molekul anti bodi tersebut. Hal itu menyebabkan lengan tersebut dapat membuka atau menutup untuk dapat mengikat dua antigen determinan yang terpisahkan oleh jarak diantar kedua lengan tersebut.
Rantai panjang juga dapat meningkatkan fungsi aktifitas dari molekul antibodi. Ada 5 klas antibodi yaitu: IgG, IgA, IgM, IgE dan IgD, yang dibedakan menurut jenis rantai panjangnya masing-masing yaitu: γ, α, μ, ε dan δ. Klas antibodi IgD, IgE dan IgG terbentuk dari struktur tunggal, sedangkan IgA mengandung dua atau tiga unit dan IgM terdiri dari 5 yang dihubungkan dengan sambungan disulfida. Antibodi IgG dibagi menjadi 4 subklas (disebut juga isotipe) yaitu IgG1, IgG2, IgG3, dan IgG4.
Struktur dan fungsi IgG dapat dipecah oleh enzim pepsin dan papain menjadi beberapa fragmen yang mempunyai sifat biologi yang khas. Perlakuan dengan pepsin dapat memisahkan Fab2 dari daerah persambungan hinge (engsel). Karena Fab2 adalah merupakan molekul bivalen sehingga ia dapat mempresipitasi antigen. Enzim papain dapat memutus daerah hinge diantara CH1 dan CH2 untuk membentuk dua fragmen yang identik dan dapat bertahan dengan reaksi antigen-antibodi dan juga satu non-antigen-antibodi fragmen yaitu daerah fragmen kristalisabel (Fc). Bagian Fc ini adalah glikosilat yang mempunyai banyak fungsi efektor (yaitu: binding komplemen, binding dengan sel reseptor pada makrofag dan monosit dan sebagainya) dan dapat digunakan untuk membedakan satu klas antibodi dengan lainnya.
Imunoglobulin A (IgA).
Imunoglobulin A adalah antibodi sekretori, ditemukan dalam saliva, keringat, air mata, cairan mukosa, susu, cairan lambung dan sebgainya. Yang aktiv adalah bentuk dimer (yy), sedangkan yang monomer (y) tidak aktif. Jaringan yang mensekresi bentuk bentuk dimer ini ialah sel epithel yang bertindak sebagai reseptor IgA, yang kemudian sel tersebut bersama IgA masuk kedalam lumen. Fungsi dari IgA ini ialah:
- Mencegah kuman patogen menyerang permukaan sel mukosa
- Tidak efektif dlam mengikat komplemen
- Bersifat bakterisida dengan kondisinya sebagai lysozim yang ada dalam cairan sekretori yang mengandung IgA
- Bersifat antiviral dan glutinin yang efektif
Imunoglobulin D (IgD)
Imunoglobulin D ini berjumlah sedikit dalam serum. IgD adalah penenda permukaan pada sel B yang matang. IgD dibentuk bersama dengan IgM oleh sel B normal. Sel B membentuk IgD dan IgM karena untuk membedakan unit dari RNA.
Imunoglobulin E (IgE)
Imunoglobulin E ditemukan sedikit dalam serum, terutama kalau berikatan dengan mast sel dan basophil secara efektif, tetapi kurang efektif dengan eosinpphil. IgE berikatan pada reseptor Fc pada sel-sel tersebut. Dengan adanya antigen yang spesifik untuk IgE, imunoglobulin ini menjadi bereaksi silang untuk memacu degranulasi dan membebaskan histamin dan komponen lainnya sehingga menyebabkan reaksi anaphylaksis. IgE sangat berguna untuk melawan parasit.
Imunoglobulin M (IgM)
Imunoglobulin m ditemukan pada permukaan sel B yang matang. IgM mempunyai waktu paroh biologi 5 hari, mempunyai bentuk pentamer dengan lima valensi. Imunoglobulin ini hanya dibentuk oleh faetus. Peningkatan jumlah IgM mencerminkan adanya infeksi baru atai adanya antigen (imunisasi/vaksinasi). IgM adalah merupakan aglutinin yang efisien dan merupakan isohem- aglutinin alamiah. IgM sngat efisien dalam mengaktifkan komplemen. IgM dibentuk setelah terbentuk T-independen antigen, dan setelah imunisasi dengan T-dependent antigen.
Imunoglobulin G (IgG)
Imunoglobulin G adalah divalen antigen. Antibodi ini adalah imunoglobulin yang paling sering/banyak ditemukan dalam sumsum tulang belakang, darah, lymfe dan cairan peritoneal. Ia mempunyai waktu paroh biologik selama 23 hari dan merupakan imunitas yang baik (sebagai serum transfer). Ia dapat mengaglutinasi antigen yang tidak larut. IgG adalah satu-satunya imunoglobulin yang dapat melewati plasenta. Kemampuannya melewati plasenta untuk setiap jenis hewan berturut-turut adalah: Rodentia>primata>anjing/kucing> manusia=babi=kuda. IgG adalah opsonin yang baik sebagai pagosit pada ikatan IgG reseptor. Imunoglobulin ini merangsang “antigen-dependen cel-mediated cytotoxicity” (ADCC)-IgG Fab untuk mengikat target sel, “Natural Killer”(NK) Fc-reseptor, mengikat Ig Fc, dan sel NK membebaskan citotoksik pada sel target. IgFc juga mengaktifkan komplemen, menetralkan toksin, imobilisasi bakteri dan menghambat serangan virus.
STRUKTUR IMUNOGLOBULIN
Imunoglobulin
atau antibodi adalah sekelompok glikoprotein yang terdapat dalam serum atau
cairan tubuh pada hampir semua mamalia. Imunoglobulin termasuk dalam famili
glikoprotein yang mempunyai struktur dasar sama, terdiri dari 82-96%
polipeptida dan 4-18% karbohidrat. Komponen polipeptida membawa sifat biologik
molekul antibodi tersebut. Molekul antibodi mempunyai dua fungsi yaitu mengikat
antigen secara spesifik dan memulai reaksi fiksasi komplemen serta pelepasan
histamin dari sel mast. Pada manusia dikenal 5 kelas imunoglobulin. Tiap kelas
mempunyai perbedaan sifat fisik, tetapi pada semua kelas terdapat tempat ikatan
antigen spesifik dan aktivitas biologik berlainan. Struktur dasar imunoglobulin
terdiri atas 2 macam rantai polipeptida yang tersusun dari rangkaian asam amino
yang dikenal sebagai rantai H (rantai berat) dengan berat molekul 55.000 dan
rantai L (rantai ringan) dengan berat molekul 22.000. Tiap rantai dasar
imunoglobulin (satu unit) terdiri dari 2 rantai H dan 2 rantai L. Kedua rantai
ini diikat oleh suatu ikatan disulfida sedemikian rupa sehingga membentuk
struktur yang simetris. Yang menarik dari susunan imunoglobulin ini adalah
penyusunan daerah simetris rangkaian asam amino yang dikenal sebagai daerah domain,
yaitu bagian dari rantai H atau rantai L, yang terdiri dari hampir 110 asam
amino yang diapit oleh ikatan disulfid interchain, sedangkan ikatan
antara 2 rantai dihubungkan oleh ikatan disulfid interchain. Rantai
L mempunyai 2 tipe yaitu kappa dan lambda, sedangkan rantai H terdiri dari 5
kelas, yaitu rantai G (γ), rantai A (α), rantai M (μ), rantai E (ε) dan rantai
D (δ). Setiap rantai mempunyai jumlah domain berbeda. Rantai pendek L mempunyai
2 domain; sedang rantai G, A dan D masing-masing 4 domain, dan rantai M dan E
masing-masing 5 domain.
Rantai dasar imunoglobulin dapat
dipecah menjadi beberapa fragmen. Enzim papain memecah rantai dasar menjadi 3
bagian, yaitu 2 fragmen yang terdiri dari bagian H dan rantai L. Fragmen ini
mempunyai susunan asam amino yang bervariasi sesuai dengan variabilitas
antigen. Fab memiliki satu tempat tempat pengikatan antigen (antigen binding
site) yang menentukan spesifisitas imunoglobulin. Fragmen lain
disebut Fc yang hanya mengandung bagian rantai H saja dan mempunyai susunan
asam amino yang tetap. Fragmen Fc tidak dapat mengikat antigen tetapi memiliki
sifat antigenik dan menentukan aktivitas imunoglobulin yang bersangkutan,
misalnya kemampuan fiksasi dengan komplemen, terikat pada permukaan sel
makrofag, dan yang menempel pada sel mast dan basofil mengakibatkan degranulasi
sel mast dan basofil, dan kemampuan menembus plasenta.
Enzim pepsin memecah unit dasar
imunoglobulin tersebut pada gugusan karboksil terminal sampai bagian sebelum
ikatan disulfida (interchain) dengan akibat kehilangan sebagian
besar susunan asam amino yang menentukan sifat antigenik determinan, namun
demikian masih tetap mempunyai sifat antigenik. Fragmen Fab yang tersisa
menjadi satu rangkaian fragmen yang dikenal sebagai F(ab2) yang mempunyai 2
tempat pengikatan antigen (lihat Gambar 9-5).
KLASIFIKASI IMUNOGLOBULIN
Klasifikasi imunoglobulin berdasarkan kelas rantai H.
Tiap kelas mempunyai berat molekul, masa paruh, dan aktivitas biologik yang
berbeda. Pada manusia dikenal 4 sub kelas IgG yang mempunyai rantai berat γl,
γ2, γ3, dan γ4. Perbedaan antar subkelas lebih sedikit dari pada perbedaan
antar kelas.
Imunoglobulin G
IgG mempunyai struktur dasar imunoglobulin yang terdiri
dari 2 rantai berat H dan 2 rantai ringan L. IgG manusia mempunyai koefisien
sedimentasi 7 S dengan berat molekul sekitar 150.000. Pada orang normal IgG
merupakan 75% dari seluruh jumlah imunoglobulin.
Imunoglobulin G terdiri dari 4
subkelas, masing-masing mempunyai perbedaan yang tidak banyak, dengan
perbandingan jumlahnya sebagai berikut: IgG1 40-70%, IgG2 4-20%, IgG3 4-8%, dan
IgG4 2-6%. Masa paruh IgG adalah 3 minggu, kecuali subkelas IgG3 yang hanya
mempunyai masa paruh l minggu. Kemampuan mengikat komplemen setiap subkelas IgG
juga tidak sama, seperti IgG3 > IgGl > IgG2 > IgG4. Sedangkan IgG4
tidak dapat mengikat komplemen dari jalur klasik (ikatan C1q) tetapi melalui
jalur alternatif. Lokasi ikatan C1q pada molekul IgG adalah pada domain CH2.
Gambar 9-5.
Struktur dasar imunoglobulin.
(Dikutip dengan
modifikasi dari DP Stites dan AI Terr, 1991)
Sel makrofag mempunyai reseptor untuk
IgG1 dan IgG3 pada fragmen Fc. Ikatan antibodi dan makrofag secara pasif akan
memungkinkan makrofag memfagosit antigen yang telah dibungkus antibodi
(opsonisasi). Ikatan ini terjadi pada subkelas IgG1 dan IgG3 pada lokasi domain
CH3.
Bagian Fc dari IgG mempunyai bermacam
proses biologik dimulai dengan kompleks imun yang hasil akhirnya pemusnahan
antigen asing. Kompleks imun yang terdiri dari ikatan sel dan antibodi dengan
reseptor Fc pada sel killer memulai respons sitolitik (antibody
dependent cell-mediated cytotoxicity = ADCC) yang ditujukan pada antibodi
yang diliputi sel. Kompleks imun yang berinteraksi dengan sel limfosit pada
reseptor Fc pada trombosit akan menyebabkan reaksi dan agregasi trombosit.
Reseptor Fc memegang peranan pada transport IgG melalui sel plasenta dari ibu
ke sirkulasi janin.
Imunoglobulin M
Imunoglobulin M merupakan 10% dari seluruh jumlah
imunoglobulin, dengan koefisien sedimen 19 S dan berat molekul
850.000-l.000.000. Molekul ini mempunyai 12% dari beratnya adalah karbohidrat.
Antibodi IgM adalah antibodi yang pertama kali timbul pada respon imun terhadap
antigen dan antibodi yang utama pada golongan darah secara alami. Gabungan
antigen dengan satu molekul IgM cukup untuk memulai reaksi kaskade komplemen.
IgM terdiri dari pentamer unit monomerik
dengan rantai μ dan CH. Molekul monomer dihubungkan satu dengan
lainnya dengan ikatan disulfida pada domain CH4 menyerupai gelang dan tiap
monomer dihubungkan satu dengan lain pada ujung permulaan dan akhirnya oleh
protein J yang berfungsi sebagai kunci.
Imunoglobulin A
IgA terdiri dari 2 jenis, yakni IgA dalam serum dan IgA
mukosa. IgA dalam serum terdapat sebanyak 20% dari total imunoglobulin, yang
80% terdiri dari molekul monomer dengan berat molekul 160.000, dan sisanya 20%
berupa polimer dapat berupa dua, tiga, empat atau lima monomer yang dihubungkan
satu dengan lainnya oleh jembatan disulfida dan rantai tunggal J (lihat Gambar
9-6). Polimer tersebut mempunyai koefisien sedimentasi 10,13,15 S.
Gambar 9-6.
Struktur IgA dan sIgA.
(Dikutip dengan
modifikasi dari DP Stites dan AI Terr, 1991)
Sekretori IgA
Sekretori imunoglobulin A (sIgA) adalah imunoglobulin
yang paling banyak terdapat pada sekret mukosa saliva, trakeobronkial,
kolostrum/ASI, dan urogenital. IgA yang berada dalam sekret internal seperti
cairan sinovial, amnion, pleura, atau serebrospinal adalah tipe IgA serum.
SIgA terdiri dari 4 komponen yaitu
dimer yang terdiri dari 2 molekul monomer, dan sebuah komponen sekretori serta
sebuah rantai J. Komponen sekretori diproduksi oleh sel epitel dan dihubungkan
pada bagian Fc imunoglobulin A oleh rantai J dimer yang memungkinkan melewati
sel epitel mukosa (lihat Gambar 4-6). SIgA merupakan pertahanan pertama pada
daerah mukosa dengan cara menghambat perkembangan antigen lokal, dan telah
dibuktikan dapat menghambat virus menembus mukosa.
Imunoglobulin D
Konsentrasi IgD dalam serum sangat sedikit (0,03 mg/ml),
sangat labil terhadap pemanasan dan sensitif terhadap proteolisis. Berat
molekulnya adalah 180.000. Rantai δ mempunyai berat molekul 60.000 – 70.000 dan
l2% terdiri dari karbohidrat. Fungsi utama IgD belum diketahui tetapi merupakan
imunoglobulin permukaan sel limfosit B bersama IgM dan diduga berperan dalam
diferensiasi sel ini.
Provided by
2003
Digitized by USU digital libraray 1
PERANAN LEUKOSIT SEBAGAI ANTI INFLAMASI ALERGIK DALAM
TUBUH
Dr. ZUKESTI EFFENDI
Bagian Histologi
Fakultas Kedokteran
Universitas Sumatera Utara
PENDAHULUAN
Dewasa ini penyakit alergi sudah merupakan penyakit dimana
para sarjana
Kedokteran telah mengembangkan, baik terapi maupun
penelitian-penelitian tentang
perkembangan, pencegahan dan pengobatan alergi maupun
penyakit-penyakit, yang
berhubungan dengan alergi.
Von Pirquet (1906), memperkenalkan istilah alergi untuk suatu
keaadaan
yang disebabkan oleh reaksi imunoligik spesifik. Yang
ditimbulkan oleh allergen
sehingga pada umumnya dalam pertahanan seluler dan humoral
organisme terhadap
benda asing, leukosit sangat berperan.
Dengan berkembangnya biologi molekuler dewasa ini para
ahli imunologi
mengungkapkan pada keadaan alergi akan dilepas
mediator-mediator inflanlasi oleh
sel system imun. Dalam menghadapi penyakit-penyakit yang
didasari iflanlasi alergi,
seperti asma bronchial, rinitis alergika, dermatitis
urtikaria, alergi obat, alergi
makanan maupun alergi dari toksin bakteri yang menyerang
ginjal (glomerulonepritis
chronis yang disebabkan toksin stretococus), untuk ini
perlu penaganan yang serius.
Mediator-mediator inflamasi yang dilepas akan menyebabkan
kontraksimotot polos,
meningkatkan sekresi mukos, meningkatkan aliran darah,
meningkatkan permea
bilitas kapiler dan pengerahan sel-sel inflamasi, kesemua
kejadian ini disebut
“inflamasi alergik". Sel-sel darah yang berperan
dalam kejadian inflamasi alergik ini
adalah sel darah putih atau leukosit dengan turunanya;
neutrofil, basofil, aosinofil,
limfosit, mastosit makrofag, sel plasma, sel epitel dan
lain-lain, akhir-akhir ini para
ahli mengungkapkan pula keterlibatan mediator inflamasi
TNF. Neuropeptida, IL-2.
Histologi leukosit
Leukosit adalah sel darah Yang mengendung inti, disebut
juga sel darah
putih. Didalam darah manusia, normal didapati jumlah
leukosit rata-rata 5000-9000
sel/mm3, bila jumlahnya lebih dari 12000, keadaan ini
disebut leukositosis,
bilakurang dari 5000 disebut leukopenia. Dilihat dalam
mikroskop cahaya maka sel
darah putih mempunyai granula spesifik (granulosit), yang
dalam keadaan hidup
berupa tetesan setengah cair, dalam sitoplasmanya dan
mempunyai bentuk inti yang
bervariasi, Yang tidak mempunyai granula, sitoplasmanya
homogen dengan inti
bentuk bulat atau bentuk ginjal. Terdapat dua jenis
leukosit agranuler : linfosit sel
kecil, sitoplasma sedikit; monosit sel agak besar
mengandung sitoplasma lebih
banyak. Terdapat tiga jenis leukosir granuler: Neutrofil,
Basofil, dan Asidofil (atau
eosinofil) yang dapat dibedakan dengan afinitas granula
terhadap zat warna netral
basa dan asam. Granula dianggap spesifik bila ia secara
tetap terdapat dalam jenis
leukosit tertentu dan pada sebagian besar precursor (pra
zatnya).
Leukosit mempunyai peranan dalam pertahanan seluler dan
humoral
organisme terhadap zat-zat asingan. Leukosit dapat
melakukan gerakan amuboid
dan melalui proses diapedesis lekosit dapat meninggalkan
kapiler dengan menerobos
antara sel-sel endotel dan menembus kedalam jaringan
penyambung.
Jumlah leukosit per mikroliter darah, pada orang dewasa
normal adalah
4000-11000, waktu lahir 15000-25000, dan menjelang hari ke
empat turun sampai
12000, pada usia 4 tahun sesuai jumlah normal. Variasi
kuantitatif dalam sel-sel
2003
Digitized by USU digital libraray 2
darah putih tergantung pada usia. waktu lahir, 4 tahun dan
pada usia 14 -15 tahun
persentase khas dewasa tercapai.
Bila memeriksa variasi Fisiologi dan Patologi sel-sel
darah tidak hanya
persentase tetapi juga jumlah absolut masing-masing jenis
per unit volume darah
harus diambil.
Neutrofil
Neutrofil berkembang dalam sum-sum tulang dikeluarkan
dalam sirkulasi, selsel
ini merupakan 60 -70 % dari leukosit yang beredar. Garis
tengah sekitar 12 um,
satu inti dan 2-5 lobus. Sitoplasma yang banyak diisi oleh
granula-granula spesifik
(0;3-0,8um) mendekati batas resolusi optik, berwarna
salmon pinkoleh campuran
jenis romanovky. Granul pada neutrofil ada dua :
- Azurofilik yang mengandung enzym lisozom dan
peroksidase.
- Granul spesifik lebih kecil mengandung fosfatase alkali
dan zat-zat bakterisidal
(protein Kationik) yang dinamakan fagositin.
Neutrofil jarang mengandung retikulum endoplasma granuler,
sedikit mitokonria,
apparatus Golgi rudimenter dan sedikit granula glikogen.
Neutrofil merupakan garis
depan pertahanan seluler terhadap invasi jasad renik,
menfagosit partikel kecil
dengan aktif. Adanya asam amino D oksidase dalam granula
azurofilik penting dalam
penceran dinding sel bakteri yang mengandung asam amino D.
Selama proses
fagositosis dibentuk peroksidase. Mielo peroksidase yang
terdapat dalam neutrofil
berikatan dengan peroksida dan halida bekerja pada
molekultirosin dinding sel
bakteri dan menghancurkannya.
Dibawah pengaruh zat toksik tertentu seperti streptolisin
toksin streptokokus
membran granula-granula neutrofil pecah, mengakibatkan
proses pembengkakan
diikuti oleh aglutulasiorganel- organel dan destruksi
neutrofil.
Neotrofil mempunyai metabolisme yang sangat aktif dan
mampu melakukan
glikolisis baik secara arrob maupun anaerob. Kemampuan
nautropil untuk hidup
dalam lingkungan anaerob sangat menguntungkan, karena
mereka dapat membunuh
bakteri dan membantu membersihkan debris pada jaringan
nekrotik. Fagositosis oleh
neutrfil merangsang aktivitas heksosa monofosfat shunt,
meningkatkan
glicogenolisis.
EOSINOFIL
Jumlah eosinofil hanya 1-4 % leukosit darah, mempunyai
garis tengah 9um
(sedikit lebih kecil dari neutrofil). Inti biasanya
berlobus dua, Retikulum endoplasma
mitokonria dan apparatus Golgi kurang berkembang.
Mempunyai granula ovoid yang
dengan eosin asidofkik, granula adalah lisosom yang
mengandung fosfatae asam,
katepsin, ribonuklase, tapi tidak mengandung lisosim.
Eosinofil mempunyai
pergerakan amuboid, dan mampu melakukan fagositosis, lebih
lambat tapi lebih
selektif dibanding neutrifil. Eosinofil memfagositosis
komplek antigen dan anti bodi,
ini merupakan fungsi eosinofil untuk melakukan fagositosis
selektif terhadap komplek
antigen dan antibody. Eosinofil mengandung
profibrinolisin, diduga berperan
mempertahankan darah dari pembekuan, khususnya bila
keadaan cairnya diubah
oleh proses-proses Patologi. Kortikosteroid akan
menimbulkan penurunan jumlah
eosinofil darah dengan cepat.
BASOFIL
Basofil jumlahnya 0-% dari leukosit darah, ukuran garis
tengah 12um, inti
satu, besar bentuk pilihan ireguler, umumnya bentuk huruf
S, sitoplasma basofil
terisi granul yang lebih besar, dan seringkali granul
menutupi inti, granul bentuknya
2003
Digitized by USU digital libraray 3
ireguler berwarna metakromatik, dengan campuran jenis
Romanvaki tampak
lembayung. Granula basofil metakromatik dan mensekresi
histamin dan heparin, dan
keadaan tertentu, basofil merupakan sel utama pada tempat
peradangan ini
dinamakan hypersesitivitas kulit basofil. Hal ini
menunjukkan basofil mempunyai
hubungan kekebalan.
LIMFOSIT
Limfosit merupakan sel yang sferis, garis tengah 6-8um,
20-30% leukosit
darah.Normal, inti relatifbesar, bulat sedikit cekungan
pada satu sisi, kromatin inti
padat, anak inti baru terlihat dengan electron mikroskop.
Sitoplasma sedikit sekali,
sedikit basofilik, mengandung granula-granula azurofilik.
Yang berwarna ungu
dengan Romonovsky mengandung ribosom bebas dan
poliribisom. Klasifikasi lainnya
dari limfosit terlihat dengan ditemuinya tanda-tanda
molekuler khusus pada
permukaan membran sel-sel tersebut. Beberapa diantaranya
membawa reseptos
seperti imunoglobulin yang mengikat antigen spesifik pada
membrannya. Lirnfosit
dalam sirkulasi darah normal dapat berukuran 10-12um
ukuran yang lebih besar
disebabkan sitoplasmanya yang lebih banyak. Kadang-kadang
disebut dengan
limfosit sedang. Sel limfosit besar yang berada dalam
kelenjar getah bening dan
akan tampak dalam darah dalam keadaan Patologis, pada sel
limfosit besar ini inti
vasikuler dengan anak inti yang jelas. Limfosit-limfosit
dapat digolongkan
berdasarkan asal, struktur halus, surface markers yang
berkaitan dengan sifat
imunologisnya, siklus hidup dan fungsi.
MONOSIT
Merupakan sel leukosit yang besar 3-8% dari jumlah
leukosit normal,
diameter 9-10 um tapi pada sediaan darah kering diameter
mencapai 20um, atau
lebih. Inti biasanya eksentris, adanya lekukan yang dalam
berbentuk tapal kuda.
Kromatin kurang padat, susunan lebih fibriler, ini
merupakan sifat tetap momosit
Sitoplasma relatif banyak dengan pulasan wrigh berupa bim
abu-abu pada sajian
kering. Granula azurofil, merupakan lisosom primer, lebih
banyak tapi lebih kecil.
Ditemui retikulim endoplasma sedikit. Juga ribosom,
pliribosom sedikit, banyak
mitokondria. Apa ratus Golgi berkembang dengan baik,
ditemukan mikrofilamen dan
mikrotubulus pada daerah identasi inti.
Monosit ditemui dalam darah, jaingan penyambung, dan
rongga-rongga
tubuh. Monosit tergolong fagositik mononuclear (system
retikuloendotel) dan
mempunyai tempat-tempat reseptor pada permukaan
membrannya. Untuk
imunoglobulin dan komplemen.
Monosit beredar melalui aliran darah, menembus dinding
kapiler masuk
kedalam jaringan penyambung. DaIam darah beberapa hari.
Dalam jaringan
bereaksi dengan limfosit dan memegang peranan penting
dalam pengenalan dan
interaksi sel-sel immunocmpetent dengan antigen.
PERKEMBANGAN LIMFOSlT DALAM PROSES IMMUN
Seperti kita ketahui bahwa limfosit yang bersikulasi
terutama berasal dari
timus dan organ limfoid perifer, limpa, limfonodus, tonsil
dan sebagainya. Akan
tetapi mungkin semua sel pregenitor limfosit berasal dari
sum-sum tulang, beberapa
diantara limfositnya yang secara relatif tidak mengalami
diferensiasi ini bermigrasi ke
timus, lalu memperbanyak diri, disini sel limfosit ini
memperoleh sifat limfosit T,
kemudian dapat masuk kembali kedalam aliran darah, kembali
kedalam sum-sum
tulang atau ke organ limfoid perifer dan dapat hidup
beberapa bulan atau tahun.
Sel-sel T bertanggung jawab terhadap reaksi immune seluler
dan mempunyai
reseptor permukaan yang spesifik untuk mengenal antigen
asing. Limfosit lain tetap
diam disum-sum tulang berdiferensiasi menjadi limfosit B
berdiam dan berkembang
2003
Digitized by USU digital libraray 4
didalam kompertemenya sendiri. Sel B bertugas untuk
memproduksi antibody
humoral antibody response yang beredar dalam peredaran
darah dan mengikat
secara khusus dengan antigen asing yang menyebabkan
antigen asing tersalut
antibody, kompleks ini mempertinggi fagositosis, lisis sel
dan sel pembunuh (killer
sel atau sel K) dari organisme yang menyerang. Sel T dan
sel B secara marfologis
hanya dapat dibedakan ketika diaktifkan oleh antigen.
Tahap akhir dari diferensiasi
sel-sel B yang diaktifkan berwujud sebagai sel plasma. Sel
plasma mempunyai
retikulum endoplasma kasar yang luas yang penuh dengan
molekul-molekul
antibody, sel T yang diaktifkan mempunyai sedikit
endoplasma yang kasar tapi
penuh dengan ribosom bebas.
Pengertian Antigen dan Antibodi
Substansi asing yang bertemu dengan system itu bekerja
sebagai antigen,
anti-melawan, + genin menghasilkan. Contohnya jika terjadi
suatu substansi terjadi
suatu respon dari tuan rumah, respon ini dapat selular,
humoral atau keduanya.
Antigen dapat utuh seperti sel bakteri sel tumor atau
berupa makro molekul, seperti
protein, polisakarida atau nucleoprotein. Pada keadaan apa
saja spesitas respon
imun secara relatif dikendalikan oleh pengaruh molekuler
kecil dari antigendetenniminan
antigenic untuk protein dan polisakarida, determinan
antigenic terdiri
atas empat sampai enam asam amino atau satuan monosa
karida. Jika komplek
antigen Yang memiliki banyak determinan misalnya sel
bakteri akan membangkitkan
satu spectrum respon humoral dan selular.
Antibodi, disebut juga imunoglobulin adalah glikkoprotein
plasma yang
bersirkulasi dan dapat berinteraksi secara spesifik dengan
determinan antigenic yang
merangsang pembentukan antibody, antibody disekresikan
oleh sel plasma yang
terbentuk melalui proliferasi dan diferensiasi limfosit B.
Pada manusia ditemukan lima kelas imunoglobulin, Ig.G,
terdiri dari dua
rantai ringan yang identik dan dua rantai berat yang
identik diikat oleh ikatan
disulfida dan tekanan non kovalen. Ig G merupakan kelas
yang paling banyak
jumlahnya, 75 % dari imunoglobulin serum IgG bertindak
sebagai suatu model bagi
kelas-kelas yang lain.
Terjadinya respon imun dari tubuh.
Kepekaan tubuh terhadap benda asing (antigen 0 akan
menimbulkan reaksi
tubuh yang dikenal sebagai Respon imun Respon imun ini
mempunyai dampak positif
terhadap, tubuh yaitu dengan timbulnya suatu proses
imunisasi kekebalan tubuh
terhadap antigen tersebut, dan dampak negatifnya berupa
reaksi hypersensitifitas.
Hypersensitifitas merupakan reaksi yang berlebihan dari
tubuh terhadap antigen
dimana akan mengganggu fungsi sistem imun yang menimbulkan
efek protektif yaitu
merusak jaringan.
Proses kerusakan yang paling cepat terjadi berupa
degranulasi sel dan
derifatnya (antara lain sel basofil, set Mast dan sel
plasma) yang melepaskan
mediator-mediatonya yaitu histamin, serotonin, bradikinin,
SRS=A, lekotrin Eusinohil
chemotactic Factor (ECF) dan sebagainya. Reaksi tubuh
terhadap pelepasan
mediator ini menimbulkan penyakit berupa asthma bronchial,
rhinitis aIergika,
urtikaria, diaree dan bisa menimbulkan shock. Secara
lambat akan terjadi reaksi
kerusakan jaringan berupa sitolisis dari sel-sel darah
merah sitotokis terhadap organ
tubuh seperti ginjal (glomeruloneftitis), serum
siknesdermatitis kontak, reaksi
tuberculin dan sebagainya, rheumatoid arthritis. coom dan
gell membagi 4 jenis
sesitifitas, dimana dapat dilihat apa yang terjadi pada
sel-sel leukosit.
Pada type I (padareaksi anafilaktik) terjadi antigen
bergabung dengan IgE
(imunoglobin tipe E-antibodies tipe E) yang terikat pada
mast sel -sel basofil dan sel
plasma. Reaksi terhadap tubuh terjadi dalam beberapa
menit.
2003
Digitized by USU digital libraray 5
Pada type II (pada reaksi sititoksik) dimana antigen
mengikat diri pada
membran sel, yang pada penggabungan anti gen mengikat IgG
atau IgM yang bebas
dalam cairan tubuh akan menghancurkan sel yang mengikat
anti gen tersebut.
Reaksi ini terdapat pada tranfusi darah, anemia
hemolitika.
Pada Type III ( reaksi artrhus ) merupakan reaksi anti gen
dan antibody
komplek dimana gen bergabung dengan IgG atau IgM menjadi
suatu komplek, yang
mengikat diri antara lain sel-sel ginjal, paru-paru dan
sendi.
Terjadilah aktifitas dari komplemen (komplemen protein
dalam darah) dan pelepasan
zat-toksis. Ditemui pada glomerulo nephritis, serum
scness, rheumatk arthritis.
Type IV ( delayed ), antigen merupakan sel protein atau
sel asing yang
bereaksi dengan limfosit, limfosit melepaskan mediator
aktif yaitu limfokin, terjadi
reaksi pada kulit, reaksi pada tranplantasi, reaksi
tuberculin dan dermatitis kontak.
Imonopatogenesis.
Pada Imunopatologi menjelaskan bahwa reaksi alergi diawali
dengan tahap
sensit, kemudian diikuti reaksi ale yang terlepas dari
sel-sel mast (mastosit) dan
atau sel basofil yang berkontak ulang dengan allergen spesifiknya
(IS hizaka, Tomiko
dan Ishizaka 1971). Saat ini lebih jelas terutama pada
rhinitis alergika diketahui
terdiri dari dua fase (Kaliner 1987, Lichtensin 1988,
pertama reaksi alergi fase cepat
(RAFC,immediet phas-allergic reaction), berlangsung sampai
satu jam setelah
berkontak alergan kedua, reaksi alergis fase lambat (RAFL,
Late phase allergic
reaction) yang berlangsung sampai 24 jam bahkan sampai 48
jam kemudian,
dengan puncak reaksi pada 4 – 8 jam pertama.
1. Tahap Sensitasi
Pada awal reaksi alergis sebenarnya dimulai dengan respon
pengenalan
alergan/antigen oleh sel darah putih yang dinamai sel
makrofag, monosit (Brown
dkk, 1991) dan atau sel denritik (Mc William, 1996)
Sel-sel tersebut berperan
sebagai sel penyaji (antigen presenting cells, sel APC)
dan berada dimukosa (dalam
dimukosa hidung), antigen/allergen yang menempel pada
permukaan mukosa
ditangkap oleh sel APC, setelah melalui proses internal
dalam sel APC, dari malergen
tersebut terbentuk fragmen pendek peptida imunogenik,
Frakmen ini bergabung
dengan molekul HLA = kelas II @B heterodimer dalam
endoplasmic reticullum sel
APC. Penggabungan yang terjadi akan membentuk komplek
peptide-MHC-class II
(mayor histocompatibility comlolex class II) yang kemudian
dipresentasikan
dipermukaan sel APC; kepada salah satu limfosit T yaitu
Holper-T cell (klon T-CD4 +,
dimana Tho), jika selanjutnya tho ini memiliki molekul
reseptor spesifik terhadap
molekul komplek peptide –MHC-II maka akan terjadi
penggabungan kedua molekul
tersebut.
Akibat selanjutnya sel APC akan melepas sitokin Salah
satunya Interkulin - I
(IL-I),sitokin akan mempengaruhi limfosit jenis T-CD4 +
(Tho) yang jika sinyal
kostimulator (pro-inflamotori second Signal) induksinya
cukup memadai, maka akan
terjadi aktivasi dan proliferasi sel Tho menjadi Th2 dan
Th1; sel ini akan
memproduksi sitokin yang mempunyai spectrum luas sebagai
molekul
imunoregulator, antara lain interleukin-3 (IL-3), IL-4,
IL-5 dan IL-13. Sitokin IL-4
dan IL-13 akan ditangkap resepiornya pada permukaan
limfisit B istirahat (resting B
sel), sehingga terjadi aktivasi limfosit B. Limfosit B ini
memproduksi imunoglobulin E
(IgE), sedangkan IL-13 dapat berperan sendiri dalam
keadaan IL-4 rendah (Naclerio
dkk, 1985, Geha, 1988), sehingga molekul IgE akan melimpah
dan berada di
mukosa atau peredaran darah.
2. Reaksi Alergis
Molekul IgE yang beredar dalam sirkulasi darah akan
memasuki jaringan dan
akan ditangkap oleh reseptor IgE yang berada pada
permukaan sel metacromatik
2003
Digitized by USU digital libraray 6
(mastosit atau sel basofil), sel ini menjadi aktif.
Apabila dua light chain IgE berkonta
dengan allergen spesifiknya maka akan terjadi degranulasi
(pecahnya dinding sel)
mastosit/basofil dan akibainya terlepas mediator-mediator
alergis. Reaksi alergis
yang segera terjadi akibat histamin tersebut dinamakan
reaksi alergi fase cepat
(RAFC )yang mencapai puncaknya pada 15-20 menit pada
paparan alergen dan
berakhir pada sekitar 60 menit kemudian.
Sepanjang RAFC mastosit juga melepaskan molekul-molekul
kemotaktik
(penarik sel darah putih ke organ sasaran). Reaksi alergis
fase cepat dapat berlanjut
terus sebagai reaksi alergi fase lambat (RAFL) sampai 24
bahkan 48 jam kemudian
(Kaliner 1987. Lichtenstein 1988). Tanda khas RAFL adalah
terlihatnya pertambahan
jenis dan jumlah sel-sel inflamasi yang berakumulasi
(berkumpul) di jaringan
sasaran.
Sepanjang RAFL (creticos 1998) sel eosiinofil aktif akan
melepas berbagai
mediator, antara lain basic protein, leukotriens
cytokines, Sedangkan basofil akan
melepas histamin, leukotriens dan cytokines. Disamping itu
berbagai sel
mononuclear akan melepas histamin releasing factors (HRFs)
Yang akan memacu
mastosit dan basofil dan melepas histamin lebih banyak
lagi.
Sepanjang reaksi alergi fase cepat (RAFC) dan reaksi
alergi fase lambat
(RAFL) sel-sel inflamasi dilepaskan sebagai prodak protein
yang merupakan hasil
kenerja DNA sel-sel inflamasi tersebut yang dapat dibagi
dalam tiga jenis, Gran dkk
1991;Bocher dkk; Coffman 1994 schleimer dkk 199.
Durham and Till 1998 Greticos 1998; Nel dkk 1998.
Mediator-mediator mastosit / basofil dan eosinofil,
histamin, prostaglandin,
Leukotrien, ECFA,(eosinofi chemotactic factorof
anaphylactic) NCFA (Neutrophil
chematactic factor of anaphylactic), dan kinin. Mediator
yang berasal dari sel
eosinofil. PAF,LTB4,C5a kemoaktraktan. LTC4 PAF, ECP;.
Molekul-molekul sitokin
inductor/stimulator/aktivalator RIA yang terdiri atas,
IL-44 dan IL-33 yang
mempengaruhi limfosit B dalam memproduksi IgE. IL-3 dan
IL-4 mempengaruhi
basofil memproduksi histamin. LTs dan sitokin-sitokin.
IL-3 dan IL-5 mempengaruhi
sel eosinofil dalam memproduksi protein-protein basa LTs
dan sitokin. HRFs yang
mempengaruhi mastosit dan basofil melepas histamin lebih
banyak lagi. IL-4
mempengaruhi epitel, IL-13 mempengaruhii endotel dalam
memproduksi VCAM
(Vascular cell adhesion molecule). Molekul-molekul
activator/survival sel eosinofil,
GM=CSF dan IL-3
IL-3 dan IL-5 (inerleukin-3 dan interleukin-5)
Fibronektin
Molekul sitokin kemoaktraktan bagi sel eosinofil.
IL-5
IL-3.GM=CSF,IL-8
Lain-lain
Interaksi EOS aktif dan epitel mukosa hidung membentuk
IL-8, RNTES dan
GGM=CSF. Molekul-molekul protein utama produk sel-sel
inflamasi, sel endotel dan
mukosa yang berperan langsung menimbulkan alergi adalah
antara lain; histamin,
leukotrien, prostak landing, kinin, platelet e activating
factor (PAF), sitokin dan
kimokin. Histamin, dapat menggunakan H2
reseptor-mediated-antiinflmnatoriyactivity
meliputi inhibisi penglepasan enzin lisosomal neutrfil,
inhibisi
pelepasan histamin dari leukosit perifer, dan aktivasi
suppressor T-lymllocytes (
Metcalfe et al, 1981, cit White 1999). Histamin
menggunakan efeknya pada berbagai
sel seperti sel oto polos, neuron, sel-sel kelenjar
(endokrin dan Eksokrin, sel-sel
darah, dan sel-sel sistem imun (pearce 1991, cit White
1999), Histamin merupakan
vasodilator, konstruktor otot polos, stimulsn pennabilitas
vaskuler yang kuat,
2003
Digitized by USU digital libraray 7
stimulan sekresi kelenjar mukosa saluran nafas dansekresi
kelenjar lambung. (White
1999). Leukotrien diproduksi oleh berbagai sel inflanlasi
seperti mastosit basofil,
eosinofil, neutrofil dan monosit.
Prostaglandin, berasal dari pecahan arachodonic acid
membran sel yang
paling banyak diproduksi oleh mastosit paru-paru PGD2
(White 1999). Seperti kita
ketahui bahwa efek biologis dari prostaglandin adalah,
memodulasi kontraksi otot
polos, penurunan permeabbilitas vaskuler, rasa gatal dan
nyeri, dan agregasi serta
degranulasi platelet.(trombosit).
Kinin merupakan hormon peptida yang kuat terbentuk de novo
dalam cairan
tubuh dan jaringan sepanjang inflamasi. Tiga jenis-jenis
kinin yang penting dalam
tubuh adalah bredykinin, kallilidin (Iysbradykinin) dan
met-lys bradykinin. Pada
reaksi inflamasi alergi dalam hidung kinin sangat banyak
ditemukan. Platelet
activating factor (PAF) merupakan sebuah ether-linked
phospholipid. PAF diproduksi
oleh mastosit, macrofag dan eosinofil. Aktifitas
biologisnya meliputi pletelet aktivasi
neutrofil,dan kontraksi otot palos, PAF juga merangsang
akumulasi eosinofil ke
permukaan endothelium yang merupakan langkah awal
pengerahan eosinofil
kedalam jaringan. PAF memacu eosinofil untuk melepas
berbagai protein basa yang
menyebabkan peningkatan kerusakan mukosa (terutama oleh
MBP) dan
menyebabkan peningkatan ekspresi low-affiniti IgE
reseptors pada eosinofil dan
monosit. PAF banyak dibentuk oleh sel eosinofil yang dapat
menarik sel eosinofil
lainya memasuki jaringan. Sitikin (cytokine) memainkan
peran yang penting
sepanjang reaksi alergi fase lambat, mastosit adalah
sumber dari sitokin multifungsi
( Bradding et al 1996) cit White 1999 antara lain:
1. Aktifitas sel-sel inflasi (makrofag, selT, sel B dan
eosinofil) diatur oleh IL=1, IL-4,
IL-5, IL-6, TNF- dan GM=CSF.
2. Pertumbuhan dan proliferasi sel B, dan pertumbuhan
sel-T-helfer ditingkatkan
oleh IL-1.
3. IL-2 memacu proliferasi limfosit T dan aktivasi
Limfosit B
4. IL- menyebabkan diferensiasi limfosit B menjadi IgE
sekresing plasmasel dan
bersama TNF-@ meninkatkan pengaturan ekpresi high-dan low
affinity IgE
reseptor pada sel-sel APC.
5. IL-5 menyebabkan aktivasi limfosit B, diferensiasi dan
pemanjangan umur
eosinofil.
PENUTUP
Leukosit dan turunannya merupakan sel dan struktur dalam
tubuh manusia
yang didistribusikan keseluruh tubuh dengan fungsi
utamanya melindungi organisme
terhadap invasi dan pengrusakan oleh mikro organisme dan
benda asing lainnya.
Sel-sel limfosit ini, mempunyai kemampuan untuk membedakan
dirinya sendiri
(makromolekuler organisme sendiri) dari yang bukan diri
sendiri (benda asing) dan
mengatur penghancuran dan inaktivasi dari benda asing yang
mungkin merupakan
molekul yang terisolasi atau bagian dari mikro organisme
Semua leukosit berasal
dari sum-sum tulang. kemudian mengalami kematangan pada
organ limfoid lainnya.
2003
Digitized by USU digital libraray 8
KEPUSTAKAAN
1. Junguera, Lcarlos : Basik Histologi edition 8 1977.
2. C. Roland leeson, M.D, Ph.D: Textbook of Histology
edition V 1990.
3. Iwin Sumarman, Strategi Rasional Pengelolaan Rinitis
Alergis Perenial Buku
naskah Simposium Penanganan Alergi Secara Rasional Padang
2000.
4. Rusdi Aziz DR. Peranan hyposensitisasi alamiah pada
pengobatan rasional
terhadap kasus alergi.
Naskah symposimll Penanganan Allergi Secara Rasional
Padang 2000
5. Karnen Baratawijaya Immunologi Dasar. Didalam Soepannan
Sarwono Waspadji,
edisi
Ilmu penyakit Dalams, edisi 2. Jakarta: GayaBaru 1996.